Selasa, 20 Januari 2009

BAB V
PERISTIWA TRAGEDI NASIONAL PERISTIWA MADIUN/PKI,/DI/TII, G 30 S/PKI


Tragedi Nasional, DI/TII, G30 S/PKI, Konflik Internal Tragedi nasional adalah suatu rangkaian peristiwa yang menimpa bangsa Indonesia. Tragedi ini tentu membawa akibat yang sangat merugikan dan menyengsarakan rakyat Indonesia. Peristiwa-demi peristiwa terjadi pada bangsa Indonesia sekaligus merupakan ancaman, tantangan dan hambatan. Peristiwa-peristiwa tersebut sangat mengganggu upaya menata kembali bangsa Indonesia setelah mencapai kemerdekaan. Kamu akan mengerti dan memahami berbagai peristiwa seperti pemberontakan DI/TII, G 30 S/PKI dan konflik internail lainnya. Dengan memahami peristiwa tersebut diharapkan timbul kesadaranmu betapa pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa itu.

A. Pemberontakan PKI Madiun 1948
Peristiwa Madiun tidak dapat dipisahkan dari pembentukn Fron Demokrasi Rakyat (FDR) pada tanggal 28 Juni 1948. FDR adalah kumpulan beberapa partai seperti partai Sosialis, Pesindo, partaiBuruh, PKI dan Sobsi. Peristiwa Madiun itu diawali dari kota Solo yang dilakukan oleh para pengikut Muso dan Amir SyarifuddinPada tahun 1948 Muso kembali dari Rusia. Sekembalinya itu Musobergabung dengan Partai Komunis Indonesia. Ajaranyang diberikan pada para anggota PKI adalah mengadu domba kesatuan nasional dengan menyebarkan teror. . Pada tanggal 18 September 1948 di Madiun tokoh-tokoh PKI memproklamirkan berdirinya Republik Soviet Indonesia. Orang-orang yang dianggap musuh politiknya dibunuh oleh PKI. Dengan terjadinya peristiwa Madiun tersebut, pemerintah dengan segera mengambil tindakan tegas. Pemberontakan Madiun itu dapat diatasi setelah pemerintah mengangkat Gubernur Militer Kolonel Subroto yang wilayahnya meliputi Semarang, Pati dan Madiun. Walaupun dalam menghancurkan kekuatan PKI dalam peristiwa Madiun menelan banyak korban, namun tindakan itu demi mempertahankan Kemerdekaan yang kita miliki. Ketika Belanda melakukan agresi terhadap Republik Indonesia, PKI justru menikam dari belakang dengan melaukan pemberontakan yang sekaligus dapat merepotkan pemerintah Republik.

B. Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TIII)
Di Jawa Barat muncul gerombolan ekstrimis “Darul Islam“ (DI). Keinginan yang menjadi cita-cita mereka adalah membentuk Negara Islam Indonesia (NII) degan sebuah kekuatan tentara yaitu Tentara Islam Indonesia (TII). Organisasi ini dipimpin oleh Sukarmaji Marijan Kartosuwiryo. Gerakan ini bermula ketika TNI ditarik mundur dari Jawa Barat akibat dari Perjanjian Renville. Akan tetapi tentara Hizbullan dan Sabillilah tidak mentaati perintah untuk hijrah tersebut. Mereka tetap tinggal di Jawa Barat sehingga mereka mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh TNI. Mereka kemudian bergabung dengan dan menamakan diri „Darul Islam“ (DI). Pada tangal 14 Agustus 1949 mereka memproklamirkan „Negara Islam Indonesia“ (NII). Ketika TNI kembali ke Jawa Barat, setelah Belanda melakukan Agresi Militer II, mendapatkan perlawanan dari DI/TII. Sejak itulah TNI kemudian melakukan operasi penumpasan terhadap DI/TII. Upaya TNI untuk mematahkan perlawanan DI/TII memakan waktu yang cukup lama. Pada tahun 1960 Melalui Kodam VI Siliwangi mulai melancarkan operasi secara besar-besaran. Rakyat dengan pagar betis ikut membantu TNI dalam rangka melumpuhkan kekuatan DI/TII tersebut. Pada tahun 1962 Kartosuwiryo dapat ditangkap yang kemudian oleh pengadilan dijatuhi hukuman mati. Pemberontakan DI/TII ternyata tidak saja berlangsung di Jawa Barat, tetapi juga di Jawa Tengah. Di Jawa Tengah gerakan ini dipelopori oleh Amir Fatah dengan organisasi Majelis Islam dari daerah Tegal-Brebes. Disamping itu ada juga Angkatan Muda Islam yang dipimpin oleh Moh. Mahfudin Abdul Rachman dari daerah Kebumen. Untuk menghadapi kekuatan baru ini TNI membentuk pasukan baru dengan nama „Banteng Raider“.

C. Pembontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)
Di Jawa Barat terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dibawah pimpinan Kapten Raymond Westerling. Dia adalah seorang algojo ketika bertugas di Sulawesi Selatan. Aksi mereka dimulai dari Bandung pada tanggal 23 Januari 1950. Mereka melakukan serbuan mendadak dan menembak mati setiap tentara yang mereka jumpai termasuk yang menjadi korban adalah Letnan Kolonel Lembong. Tidak kurang dari 70 TNI menjadi korban keganasan Westering dan kawan-kawannya. Panglima Belanda yang ada di Bandung semula tidak melakukan tindakan apa-apa terhadap tragedi tersebut, meski hampir 1000 anggotanya terlibat aksi teror. Komisaris Tinggi Belanda akhirnya memerintahkan untuk menghalau pasukan Westerling tersebut keluar dari kota Bandung. Atas bantuan dari Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) akhirnya gerombolan itu dapat ditumpas. Di Jakarta gerakan APRA ini dilakukan dengan bekerja sama dengan Sultan Hamid II yang merancang suatu coup d’etat (perebutan kekuasaan) dengan jalan melakukan serbuan terhadap Sidang Kabinet dan membunuh para menteri Republikein. Namun gerakan tersebut dapat dicegah, sehingga para pelakunya termasuk Sultan Hamid II ditangkap dan kemudian diadili. Tetapi Westerling sendiri tidak sempat ditangkap karena melarikan diri ke negeri Belanda.

D . Pembontakan Maluku Selatan (RMS)
Salah seorang yang juga menjadi dalang dalam pemberontakan Andi Aziz adalah Dr. Chr. R.S. Soumokil datang ke Ambon. Ketika itu Soumokil menjabat sebagai Jaksa Agung Negara Bagian Indonesia Timut (NIT). Dia mempengaruhi padaanggota KNIL agar membentuk Republik Maluku Selatan (RMS). RMS kemudian diproklamasikan pada tanggal 25 April 1950. Pemerintah berusaha mengakhiri teror yang dilakukan oleh gerombolan RMS terhadap rakyat Maluku Tengah. Walaupun sudah dilakukan upaya damai, namun RMS tetap melakukan teror terhadap rakyat. Pemerintah kemudian mengambil jalan dengan mengerahkan pasukan untuk meredam pemberontakan tersebut. Pada 14 Juli 1950 pasukan dari APRIS mulai mendarat di Maluku. Pada bulan Desember 1950 seluruh Maluku Tengah dapat dikuasai oleh APRIS. Para pemberontak melarikan diri ke pulau Seram. Pada tanggal 2 Desember 1953 Somoukil dapat ditangkap dan dalam Mahkamah Militer Luar Biasa dia dijatuhi hukuman dengan pidana mati.

E. Pembontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/ Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta)
Dengan adanya beberapa pemberontakan menyebabkan semakin memburuknya keamanan dalam negeri. Pada akhir tahun 1956 beberapa Panglima yang ada di daerah-daerah membentuk dewan-dewan. Di Sumatra Barat berdiri Dewab Banteng yang dipimpin oleh Kolonel Achmad Hussein. Di Medan berdiri Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Simbolon. Di Palembang berdiri Dewan Garuda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Barlian. Di Menado berdiri Dewan Manguni yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Samual. Dewan-dewan tersebut ternyata memberikan dukungan terhadap daerah-daerah yang akhirnya menjurus pada sparatisme. Munculnya sparatisme tersebut disebabkan oleh terjadinya ketidak seimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Terjadi kecemburuan sosial dan ekonomi karena sumber keuangan yang berasal dari daerah mengalir ke pusat di Jakarta. Pemerintah pusat mencoba menyelesaikannya dengan jalan damai. Pada tanggal 14 September 1957 dilakukan Musayawarah Nasional (Munas) dan Musayawarah Pembangunan (Munap) dalam rangka memecahkan masalah pusat dan daerah tersebut. Dalam musyawarah itu terdapat keinginan kuat daerah untuk menang sendiri sehingga sulit untuk dicarikan kesepakatan. Peristiwa lain menyertai dua bulan kemudian ketika terjadi usaha pembunuhan terhadap Presiden Sukarno yang dikenal dengan peristiwa Cikini. Presiden selamat tetapi beberapa pelajar yang tidak berdosa mengalami cedera akibat granat yang dilempatkan oleh kelompok ekstrim agama. Pada tanggal 10 Februari 1958 ketua Dewan Banteng Achmad Hussein mengeluarkan ultimatum kepada pemerintah pusat agar Kabinet Juanda mengundurkan diri dalam waktu lima kali 24 jam. Menghadapi ultimatum tersebut pemerintah pusat mengambil tindakan tegas dengan memecat secara tidak hormat para perwira yang duduk dalam dewan-dewan tersebut. Kapala Staf Angkatan Darat etika itu Mayor Jenderal A.H. Nasution pada tanggal 12 Februari 1958 mengeluarkan perintah untuk membekukan Komando Militer Daerah Sumatra Tengah. Pada tanggal 15 Februari 1958 Achmad Hussein menyatakan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan Syarifuddin Prawiranegara sebagai Perdana Menterinya. Untuk memulihkan keamanan negara, maka pemerintah menghadapi dengan jalan operasi militer. Upaya penghancuran ini dilakukan dibawah komandan Kolonel Achmad Yani. Tujuan yang ingin dicapai adalah mencegah meluasnya sparatisme kedaerah lain dan juga mencegah agar tidak ada bantuan asing untuk gerakan tersebut. Kekuatan asing diperkirakan akan melakukan intervensi dengan dalih untuk melindungi kepentingan modal dan warga negara asing yang ada di Riau dan Sumatra Timur. Itulah sebabnya gerakan TNI pertama-tama ditujukan ke Pakanbaru. Dari pakanbaru operasi dikembangkan menuju pusat pertahanan pemberontak dan pada tanggal 4 Mei Bukittinggi dapat direbut kembali. Proklamai yang dilakukan tangal 15 Februari di Padang oleh Achmad Hussien itu rupanya mendapat sambutan dari wilayah Indonesia bagian timur Indonesia. Di Sulawesi Utara muncul gerakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) yang dalam perjuangannya juga menguasai Sulawesi Tengah. Gerakan ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Ventje Samual. Dalam rangka menumpas gerakan ini pemerintah menbentuk komando operasi „Merdeka“ yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Lukminto Hendraningrat. Operasi merdeka ini dilancarkan pada bulan April 1958 di Sulawesi Utara. Gerakan ini ternyata mendapatkan bantuan dari negara asing. Ini terbukti setelah menembak jatuh pesawat udara yang dipiloti oleh A.L. Pope warga Amerika Serikat pada tanggal 16 Mei 1958. Pemberontakan kemudian dapat dilumpuhkan pada Agustus 1958.

F. Gerakan 30 September 1965 (G.30 S / PKI)
Sebagai fakta sejarah setiap orang Indonesia tidak akan melupakannya, bahwa di negara ini pernah terjadi peristiwa di tahun 1965 yang dikenal dengan nama Gerakan 30 September yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (G30 S/ PKI) . Pada dini hari 1 Oktober 1965 mereka membunuh enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama Angkatan Darat. Kesemuanya dibawa ke Desa Lubang Buaya sebelah Selatan pangkalan Udara Utama Halim Perdanakusuma. Mereka itu adalah:
1. Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) Letnan Jenderal Ahmad yani,
2. Deputy II Men/Pangad, Mayor Jenderal R.Soeprapto;
3. Deputy III Men/Pangad, Mayor Jenderal Harjono Mas Tirtodarmo;
4. Asisten I Men/Pangad, Mayor Jenderal Siswodo Parman;
5. Asisten IV Men/Pangad Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan;
6. Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo.
7. Letnan Satu Pierre Andrean Tendean
Peristiwa G 30 S/PKI ternyata menjadi pemicu aksi protes terhadap kepemimpinan Soekarno, bahkan dituduhkan bahwa Soekarno ada di balik peristiwa tersebut. Aksi-aksi tuntutan penyelesaian yang seadil-adilnya terhadap pelaku G 30 S/PKI semakin meningkat. Gerakan tersebut dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda, mahasiswa dan pelajar KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Aksi mogok demonstrasi mulai dilaksanakan pada tanggal 10 Januari 1966 di halaman Universitas Indonesia. KAMI mengajukan tuntutan kepada pemerintah di antaranya, (1) mencabut keputusan tentang naiknya harga bensin, minyak tanah, tarif postel, kereta api dan angkutan umum, (2)membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya dan (3)menghentikan pembantu-pembantu presiden yang tidak kompeten. Pada 11 januari 1966, para mahasiswa mulai mogok kuliah, menghentikan kendaraan bermotor sehingga kendaraan dari Jalan Salemba sampai di muka Hotel Indonesia macet total. Di samping itu juga mereka melakukan aksi corat-coret serta tempelant empelan pada kendaraan-kendaraan bermotor yang antara lain berbunyi mengecam kepemimpinan Soekarno dan PKI. Mereka bertekad akan terus mogok sampai tuntutan mereka terpenuhi. Khususnya kendaraan-kendaraan ABRI diberi jalan dan disambut dengan meriah “hidup ABRI”. Peranan Amerika nampaknya besar di balik peristiwa ini, sebagai introspeksi diri bahwa semua ini terjadi karena kondisi politik di dalam negeri tidak stabil. Dari aksi para mahasiswa tersebut menghasilkan sebuah keputusan politik bersama yang dikenal dengan nama Tri Tura (Tiga Tuntutan Rakyat) yang isinya:
1. Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya yang bernaung dibawahnya;
2. Bersihkan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur G 30 S/PKI;
3. Turunkan harga/perbaikan ekonomi;
Untuk menjawab tuntutan tersebut maka Kabinet Dwikora mengadakan sidangnya di Istana Negara pada hari Jumat tanggal 11 Maret 1966 yang dipimpin oleh Soekarno. Sidang dimulai pukul 09.00, semua menteri nampak semua hadir, kecuali Menteri Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Soeharto karena sakit flu. Presiden Sukarno mendapat laporan bahwa di luar istana terdapat pasukan liar dengan kekuatan satu kompi mengepung istana. Ia langsung berhenti memimpin sidang, kemudian berangkat ke Istana Bogor. Sidang kemudian dilanjutkan oleh Dr. Leimena untuk kemudian ditutup sehingga dapat dikatakan sidang ini gagal. Melihat kejadian ini maka Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen Amir Mahmud dan Brigjen M.Yusuf segera melaporkan situasi yang terjadi di Istana kepada Letjen Soeharto. Ketiga perwira itu juga meminta ijin kepada Menteri/Pangad untuk menemui Presiden Soekarno di Bogor guna melaporkan situasi sebenarnya di Jakarta. Sore hari ketiga perwira itu menghadap Presiden yang didampingi oleh Dr. Soebandrio, Dr. Chairul Saleh dan Dr. Leimena, sementara itu ke Bogor disusul oleh ajudan Presiden Brigadir Jenderal M.Sabur. Ketiga perwira ini mencoba menyakinkan presiden bahwa satu-satunya orang yang dapat menguasai siatuasi dewasa ini ialah Letjen Soeharto. Maka diajukan saran agar Presiden memberikan wewenang kepada Letjen Soeharto mengambil langkah-langkah pengamanan dan penertiban keadaan. Dan setelah mengadakan pembicaraan dan pembahasan yang cukup mendalam akhirnya Presiden Soekarno pada tanggal 11 Marret 1966 memberikan surat perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto, surat mini dikenal dengan nama Supersemar. Secara umum Supersemar mempunyai arti penting, di antaranya:
1. Keluarnya Supersemar merupakan tonggak baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena dalam periodisasi sejarah Indonesia mulai dikenal Orde Baru.
2. Dengan Supersemar menyebabkan Letnan Jenderal Soeharto mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin keamanan dan ketertiban serta kestabilan jalannya pemerintahan dan revolusi Indonesia serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden demi keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia.
3. Berlandaskan Supersemar Letnan Jenderal Soeharto harus mengambil langkah-langkah yang penting dan memberi arah baru kepada perjalanan hidup bangsa dan negara.

G. Orde Baru dan Perkembangan Dalam Bidang politik, ekonomi dan sosial-budaya
Keluarnya Supersemar merupakan awal dari Orde Baru dan sesuai dengan isi dari Supersemar sejak 11 Maret 1966 Letnan Jendral Soeharto sudah mempunyai hak dan tanggung jawab terhadap pelaksanaan isi Supersemar. Karena itu berdasarkan Supersemar menjadi landasan yuridis Letnan Jenderal Soeharto mengambil langkah-langkah di segala bidang demi keselamatan negara.

1. Perkembangan Dalam Bidang Politik
Sebagai konsekuensi dari isi Supersemar yang di antaranya berbunyi “….mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan” Langkah pertama yang dilakukan adalah membubarkan dan pelarangan PKI, termasuk ormas-ormasnya dari tingkat pusat sampai daerah. Langkah berikutnya tanggal 18 Maret 1966 yaitu pengamanan dan penangkapan terhadap lima belas mentri Kabinet Dwikora yang terlibat dalam persitiwa di tahun 1965. Kelimabelas mentri tersebut adalah Dr. Soebandrio, Dr. Chairul Saleh, Ir. Setiadi Reksoprodjo, Sumardjo, Oei Tju Tat, SH., Ir. Surachman, Yusuf Muda Dalam, Armunanto, Sutomo Martopradoto, A. Astrawinata,SH., Mayor Jenderal Achmadi, Drs. Moh. Achadi, Letnan Kolonel Sjafei, J.K. Tumakaka, dan Mayor Jendral Dr. Soemarno. Langkah berikutnya adalah pada tanggal 25 Juli 1966 tentang pembentukan Kabinet Ampera sebagai pengganti Kabinet Dwikora. Adapun tugas pokok dari Kabinet Ampera dikenal dengan nama Dwidharma yaitu dalam rangka mewujudkan stabilitas politik dan ekonomi. Dalam melaksanakan tugas ini maka penjabarannya tertuang dalam program Kabinet Ampera yang dikenal dengan nama Catur Karya, meliputi:
a. memperbaiki perikehidupan rakyat, terutama dalam bidang sandang dan pangan;
b. melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti tercantum dalam Ketatapan MPRS No.XI/MPRS/1966;
c. melaksanaka politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional sesuai dengan Ketatapan MPRS No.XI/MPRS/1966, dan;
d. melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Dan pada tanggal 11 Agustus 1966 melaksanakan persetujuan normalisasi hubungan dengan Malaysia, yang pernah putus sejak 17 September 1963. Persetujuan normalisasi hubungan tersebut merupakan hasil perundingan Bangkok (29 Mei--1 Juni 1966). Dalam sidang umum MPRS tanggal 20 Juni 1966 Soekarno dimintak menyampaikan pidato pertanggungjawabannya terkait dengan peristiwa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965. Dalam pertanggungjawaban ini Soekarno berpidato dengan nama NAWAKSARA yang artinya sembilan pasal. Pidato Presiden Soekarno tersebut diatas tidak dapat diterima oleh MPRS, sehingga MPRS memberikan waktu kepada Presiden Soekarno untuk menyempurnakan lagi pada tanggal 10 januari 1967 yang disebut PELENGKAP NAWAKSARA yang dituangkan dalam Surat Presiden Republik Indonesia No. 01/Pres/1967. Disini nampak terjadi pergeseran peranan MPRS di hadapan pemegang Supersemar yang tidak sesuai dengan UUD tahun 1945. Dalam Sidang Istimewa ini MPRS menghasilkan 4 ketetapan, diantaranya Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat Jenderal Soeharto pemegang Tap MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden hingga dipilihnya Presiden oleh MPR hasil Pemilu. Dan pada tanggal 27 Maret 1968 dilakukan pelantikan Jendral Soeharto pengemban Tap MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Presiden Republik Indonesia yang kedua.

2. Perkembangan Dalam Bidang Ekonomi
Dalam upaya pembangunan dalam bidang ekonomi Orde Baru dilaksanakan melalui REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang dimulai pada tanggal 1 April 1969. Sektor pertanian merupakan sektor yang terbesar dalam ekonomi Indonesia. Kurang lebih 55% dari produksi nasional berasal dari sektor pertanian, sedangkan 75% penduduk memperoleh penghidupan dari sektor pertanian. Kedudukan yang menentukan dari sektor pertanian dapat dilihat juga dari sumbangan penghasilan devisa negara. Lebih 60% dari ekspor Indonesia berasal dari sektor pertanian. Sebagai sektor terbesar dalam ekonomi Indonesia maka sektor pertanian merupakan landasan bagi setiap usaha pembangunan. Sasaran pembangunan dirumuskan secara sederhana dalam Repelita ini yaitu:
1. pangan;
2. sandang;
3. perbaikan prasarana;
4. perumahan rakyat;
5. perluasan lapangan kerja; dan
6. kesejahtraan rohani.
Pelaksanaan pembangunan ini bertumpu pada Trilogi Pembangunan yaitu:
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Dan Pembangunan ini berdasarkan pada asas:
1. Asas manfaat;
2. Asas usah ebersama dan kekeluargaan;
3. Asas demokrasi;
4. Asas adil dan merata;
5. Asas perikehidupan dalam keseimbangan;
6. Asas kesadaran; dan
7. Asas kepercayaan pada diri sendiri.
Adapun modal dasar yang disebutkan dalam Pola Dasar Pembangunan Nasional ialah:
1. Kemerdekaan dan kedaulatan bangsa;
2. Kedudukan geografi’;
3. Sumber-sumber kekayaan alam;
4. Jumlah penduduk;
5. Modal rohani dan mental;
6. Modal budaya;
7. Potensi efektif bangsa;
8. Angkatan bersenjata.
Dalam menggerakkan modal dasar untuk mencapai tujuan pembangunan, perlu pula diperhatikan faktor-faktor dominan sebagai berikut:
1. Faktor demografi dan sosial-budaya;
2. Faktor geografi, hidrografi, geologi dan topografi;
3. Faktor klimatologi;
4. Faktor flora dan fauna;
5. Faktor kemungkinan pengembangan.
Dengan segala kelebihan yang dimiliki di masa Orde Baru di bidang ekonomi, terdapat juga kekuarangannya. Hal ini dapat dilihat adanya KKN(Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang merajalela, krisis multidemensional yang menyebabkan keruntuhan Orde Baru pada bulan Mei 1998.

3. Perkembangan Dalam Bidang Sosial-Budaya.
Masa Orde Baru diakui telah banyak mencapai kemajuan dalam proses untuk mewujudkan cita-cita nasional. Dalam kehidupan sosial budaya, masyarakat dapat digambarkan dari berbagai sisi. Selama dasawarsa 1970-an laju pertumbuhan penduduk mencapai 2,3% setiap tahun. Dalam tahun tahun awal 1990-an angka tadi dapat diturunkan menjadi sekitar 1,6% setiap tahun. Jika awal tahun 1970-an penduduk Indonesia mempunyai harapan hidup rata-rata sekitar 50 tahun maka pada tahun 1990-an harapan hidup lebih dari 61 tahun. Dalam kurun waktu yang sama angka kematian bayi menurun dari 142 untuk setiap 1000 kelahiran hidup menjadi 63 untuk setiap 1000 kelahiran hidup. Hal ini antara lain dimungkinkan makin meningkatnya pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Sebagai contoh adanya Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan Pos Pelayanan Terpadu sampai di tingkat desa atau RT. Dalam himpunan Tap MPR Tahun 1993 di bidang pendidikan, fasilitas pendidikan dasar sudah makin merata. Pada tahun 1968 fasilitas sekolah dasar yang ada hanya dapat menampung sekitar 41% dari seluruh anak yang berumur sekolah dasar. Fasilitas sekolah dasar yang telah dibangun di pelosok tanah air praktis mampu menampung anak Indonesia yang berusia sekolah dasar. Kondisi ini merupakan landasan kuat menuju pelaksanan wajib belajar 9 tahun di tahuntahun yang akan datang. Sementara itu, jumlah rakyat yang masih buta huruf telah menurun dari 39% dalam tahun 1971 menjadi sekitar 17% di tahuan1990-an. Dampak dari pemerataan pendidikan juga terlihat dari meningkatnya tingkat pendidikan angkatan kerja. Dalam tahun 1971 hampir 43% dari seluruh angkatan kerja tidak atau belum pernah sekolah. Pada tahun 1990-an jumlah yang tidak atau belum pernah sekolah menurun menjadi sekitar 17%. Dalam kurun waktu yang sama angkatan kerja yang berpendidikan SMTA ke atas adalah meningkat dari 2,8% dari seluruh angkatan kerja menjadi hampir 15%. Peningkatan mutu angkatan kerja akan mempunyai dampak yang luas bagi laju pembangunan di waktui-waktu yang akan datang. Kebinekaan Indonesia dari berbagai hal (suku, agama, ras, budaya, antar golongan dsb.) yang mempunyai peluang yang tinggi akan terjadinya konflik, maka masa Orde Baru memunculkan kebijakan yang terkait dengan pemahaman dan pengamalan terhadap dasar negara Pancasila. Berdasarkan Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 ditetapkan tentang P-4 yaitu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Parasetia Pancakarsa). Dengan Pancasila akan dapat memberikan kekuatan, jiwa kepada bangsa Indonesia serta membimbing dalam mengejar kehidupan lahir dan batin yang makin baik menuju masyarakat yang adil dan makmur. Dengan penghayatan terhadap Pancasila oleh manusia Indonesia akan terasa dan terwujudlah Pancasila dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia. Karena itulah diperlukan suatu pedoman yang dapat menjadi penuntun dan pegangan hidup bagi sikap dan tingkah laku setiap orang Indonesia. Untuk melaksanakan semua ini dilakukanlah penataran-penataran baik melalui cara-cara formal, maupun non-formal sehingga di tradisikan sebagai gerakan Budaya.

PEMBELAJARAN IPS-SEJARAH

BAB IV
PERJUANGAN BANGSA INDONESIA MEREBUT IRIAN BARAT

Perjuangan merebut Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi merupakan tanggung jawab bangsa dan pemerintah Indonesia. Di samping itu, sesuai dengan isi KMB, masalah Irian Barat akan diselesaikan dalam waktu satu tahun. Namun, sampai tahun 1962, Belanda masih menanamkan kekuasaannya di bumi Irian Barat. Berdasarkan kenyataan di atas, bangsa dan pemerintah RI berkewajiban untuk merebut Irian Barat (Papua) ke pangkuan ibu pertiwi. Upaya ini harus dilakukan secara damai, yaitu melalui diplomasi bilateral dengan Belanda maupun diplomasi multilateral dengan melibat PBB. Sikap pemerintah Belanda yang kurang serius untuk menyelesaikan masalah Irian Barat secara damai telah mendorong pemerintah dan bangsa Indonesia untuk menyelesaikan dengan jalan kekerasan. Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumumkan pemebentukan TRIKORA. Dengan demikian, upaya penyelesaian masalah Irian Barat melalui kekerasan (peperangan) sudah dimulai. Pasukan TNI dan para sukarelawan mulai diterjunkan ke berbagai wilayah di Irian Barat. Perjuangan tersebut mencapai hasil pada tanggal 1 Oktober 1962, ketika bendera Belanda diturunkan dan Sang Merah Putih mulai dikibarkan di Irian Barat pada tanggal 31 Desember 1962. Masuknya Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi semakin mantap setelah dilaksanakan penentuan pendapat rakyat (PEPERA) pada tanggal 14 Juli 1969.

A. Upaya Penyelesaian Masalah Irian Barat
Masalah Irian Barat merupakan konsekuensi logis dari proses perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada awal kemerdekaan pun masih terjadi perdebatan tentang luas wilayah Indonesia merdeka. Namun, setelah melalui proses yang panjang akhirnya disepakati bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia mencakup seluruh bekas jajahan Hindia Belanda. Keinginan bangsa Indonesia ini telah diterima oleh berbagai pihak, termasuk dalam Perjanjian Linggarjati dan Renville. Bahkan, hasilhasil KMB menysebutkan secara teas bahwa masalah Irian Barat akan diselesaikan dalam waktu satu tahun. Dengan demikian, Irian Barat merupakan bagian tidak terpisahkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perhatikan gambar di atas dan coba bandingkan pemahaman kalian dengan materi yang dipaparkan di bawah ini. Untuk menghindari jangan sampai Konferensi Meja Bundar (KMB) gagal, karena konferensi itu harus berakhir tanggal 2 Nopember 1949, maka atas saran UNCI, maka kedua belah pihak Indonesia – Belanda setuju, bahwa mengenai Irian Barat akan diselesaikan melalui perundingan dalam waktu setahun sesudah tanggal penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). Oleh karena itu, pihak RIS menuntut agar masalah Irian Barat dirumuskan secara jelas pada bagian akhir dari isi KMB. Artinya, status Irian Barat sebagai sebuah sengketa (dispute) harus disebutkan secara eksplisit. Akhirnya, mengenai Irian Barat ini dirumuskan dalam rancangan Piagam Penyerahan Kedaulatan Pasal 2 yang isinya di antaranya menyebutkan bahwa: Mengingat kebutuhan pihak-pihak yang bersangkutan hendak mempertahankan asas supaya semua perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari harus diselesaikan dengan jalan patut dan rukun, maka status quo Karisidenan Irian Barat (West Nieuw Guinea) tetap berlaku seraya ditentukan bahwa dalam waktu setahun sesudah tanggal penyerahan kedaulatan kepada RIS masalah kedudukan kenegaraan Irian Barat akan diselesaikan dengan jalan perundingan antara RIS dengan Belanda. Setelah KMB kemudian diadakan perundingan secara langsung mengenai Irian Barat oleh kerajaan Belanda dengan RIS dalam hubungan Uni Indonesia Belanda. Dalam perundingan yang diselenggarakan tanggal 25 Maret sampai dengan 1 April 1950 di Jakarta, kedua delegasi sepakat membentuk Komisi Gabungan. Pada bulan Agustus Komisi tersebut membuat laporan, tetapi laporannya terpisah. Wakil-wakil Belanda membuat laporannya sendiri, demikian pula dari RIS membuat laporannya sendiri yang berbeda. Jelasnya kedua laporan tersebut belum memberikan perkembangan baru terhadap penyelesaian Irian Barat. Sementara itu Menteri Urusan Uni dan Seberang lautan Belanda, Mr. van Maarseveen menyatakan bahwa setelah satu tahun dari penyerahan kedaulatan kepada RIS, West Niew Guinea (Irian Barat) harus tetap di bawah Belanda. Ia berdalih bahwa pendapat tersebut didasarkan pada kepentingan rakyat Irian Barat sendiri. Tanggal 4 Desember 1950 diadakan perundingan kembali di Den Haag. RI menawarkan konsesi-konsesi yang sangat luas kepada Belanda, asal Irian Barat diserahkan kepada Indonesia. Usulan pemerintah Indonesia tidak diterima oleh pemerintah Belanda. Penolakan Belanda didasarkan pada alasan bahwa Belanda merasa bertanggungjawab untuk memajukan rakyat Irian Barat dan rakyat Irian Barat akan menentukan pilihannya sendiri. Sebaliknya, alasan pemerintah Belanda tidak dapat diterima oleh delegasi Indonesia. Mengingat tidak ada kesepakatan antara kedua belah pihak, kemudian Belanda mengusulkan agar masalah Irian Barat diserahkan saja kepada Mahkamah Internasional di Den Haag. Dengan demikian, status Irian Barat akan ditentukan oleh lembaga internasional tersebut. Usulan tersebut ditolak pihak Indonesia karena dipandang bukan jalan terbaik bagi Indonesia. Dalam keadaan sengketa yang demikian itu, pemerintah Belanda, dengan persetujuan parlemen telah memasukkan Irian Barat ke wilayah Kerajaan Belanda. Pemasukan itu dengan cara merubah Hindia Belanda (Nederlands Indie) menjadi Nederlands West Niew Guinea. Pemerintah Indonesia mencoba untuk menjajagi kemungkinan pemecahan masalah itu, namun Belanda tidak mau menempuh kompromi. Ini terbukti dengan adanya pernyataan Pemerintah Belanda di muka Parlemen Belanda pada tanggal 29 Oktober 1952 bahwa tidak ada gunanya lagi membicarakan masalah Irian Barat dengan Indonesia. Penyelesaian masalah Irian Barat menjadi berlarut-larut karena sikap Belanda yang berkeinginan menanamkan kekuasaannya. Sampai tahun 1962, Belanda masih menanamkan kekuasaannya di Irian Barat. Oleh karena itu, pemerintah dan bangsa Indonesia harus mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi.

B. Perjuangan Melalui PBB
Setelah lebih kurang selama 3 (tiga) tahun, diplomasi Indonesia dan Belanda mengalami kegagalan, maka pemerintah Indonesia mengambil inisiatif memperjuangkan masalah Irian Barat melalui Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Pada bulan September 1954, dalam sidang Umum PBB yang ke-9, Indonesia mengajukan masalah Irian Barat ke PBB. Pihak Indonesia mengemukakan beberapa hal yang intinya diantaranya adalah: (1) Irian Barat adalah merupakan bagian integral dari Indonesia, (2) Persetujuan Linggarjati dan Renville menerima pendirian dasar bahwa Nederlands Oost Indie secara keseluruhan akan dijelmakan dalam suatu negara Indonesia yang merdeka, (3) KMB adalah suatu kompromi sementara dalam hal penundaan masalah kedaulatan, (4) Pada tahun 1950, 1951, 1952 Indonesia telah berusaha untuk merundingkan masalah Irian Barat itu, tetapi selalu ditolak oleh Belanda, dan (5) Indonesia ingin mencari jalan pemecahan secara damai. Hanya minta agar diadakan perundingan kembali dengan anjuran dan dorongan dari PBB. Terhadap usul untuk resolusi dari Indonesia itu, pihak Belanda menolaknya, dengan alasan yang kurang lebih sama dengan sebelum-sebelumnya. Selanjutnya PBB mengharapkan agar Indonesia dan Belanda meneruskan usahanya untuk menyelesaikan perselisihan yang ada, selaras dengan asas-asas PBB. Di dalam mengajukan rancangan resolusi itu Indonesia mendapat dukungan dari 34 suara. Sedangkan suara yang dibutuhkan adalah 2/3 dari 60 suara, yaitu 40 suara. Dengan demikian rancangan resolusi itu tidak dapat menjadi keputusan PBB, sehingga akhirnya hanya menjadi seruan saja. Usaha yang dilakukan pihak Indonesia tidak berhenti begitu saja, pada Sidang Umum PBB ke-10 pada tahun 1955, Indonesia mengajukan lagi agar masalah Irian Barat diagendakan kembali dengan disponsori oleh 15 negara Asia-Afrika. Tetapi setelah melalui perdebatan dan pendekatan-pendekatan, maka Indonesia dan Belanda akan mengadakan perundingan kembali di Jenewa. Dengan hasil pendekatan tersebut, maka PBB tidak membuka perdebatan pada Sidang Umum ke-10, dan hanya membuat pernyataan, agar perundingan Indonesia Belanda itu dapat berhasil. Meskipun akhirnya diketahui bahwa perundingan di Jenewa ternyata tidak menghasilkan titik temu yang diharapkan. Meskipun demikian bagi Indonesia adalah suatu kemajuan, karena dunia internasional mengetahui dengan jelas, bahwa antara Indonesia dengan belanda masih ada ganjalan masalah Irian Barat. Dengan kegagalan perundingan di Jenewa, maka pada Sidang Umum PBB ke-11 tahun 1956, diajukanlah lagi rancangan resolusi oleh 15 negara Asia-Afrika. Tetapi rancangan resolusi inipun akhirnya gagal, karena memperoleh dukungan suara kurang dari 2/3. Kegagalan itu merupakan bukti bahwa diplomasi Belanda untuk menentang resolusi tersebut sangat baik. Pada tahun 1956, hubungan diplomatik dan politik antara Indonesia dengan Belanda semakin panas. Selanjutnya pihak Indonesia melakukan politik konfrontasi di bidang politik dan ekonomi. Kalau pada tahun 1953, pihak Indonesia telah menghapus Misi Militer Belanda sebagai reaksi terhadap sikap keras Belanda yang tidak mau mengadakan perundingan dengan Indonesia, maka pada tanggal 15 Februari 1956 Indonesia telah memutuskan secara sepihak hubungan Uni Indonesia Belanda. Kemudian disusul dengan pembatalan secara sepihak keseluruhan
persetujuan KMB pada tanggal 2 Maret 1956. Pada Sidang Umum PBB ke-12 tahun 1957, diulangi lagi rancangan resolusi mengenai Irian Barat. Kali ini yang mengajukan 21 negara. Rancangan yang diajukan hampir sama, ditambah meminta kepada Ketua Umum PBB untuk menjadi perantara. Indonesia terus melakukan pendekatan-pendekatan untuk memperoleh dukungan terhadap rancangan resolusinya itu. Tetapi pada akhirnya pada pemungutan resmi, suara duapertiga tetap belum bisa diperoleh, yang berarti bahwa rancangan resolusi itu gagal kembali. Demikianlah, setelah mengalami kegagalan berkali-kali, maka Indonesia berpendapat bahwa jalan yang ditempuh melalui PBB bukan jalan yang menguntungkan. Sejak itu Indonesia menyatakan bahwa Indonesia tidak akan membawa persoalan Irian Barat ke Sidang Umum PBB lagi, dan akan mencari jalan lain yang lebih tepat. Dengan sikap tegas Indonesia itu, maka pada Sidang Umum PBB ke-13 tahun 1958 tidak ada pembicaraan lagi tentang Irian Barat. Selanjutnya Indonesia berpendirian bahwa pada dasarnya pengembalian Irian Barat tergantung pada kekuatan nasional bangsa Indonesia sendiri. Sejak itulah dimulai penggalangan kekuatan nasional yang kemudian menjadi “Politik Konfrontasi Pembebasan Irian Barat”. Untuk menggalang kekuatan nasional dalam rangka konfontrasi itu, maka pemerintah membentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat. Perusahaanperusahaan Belanda dikuasai oleh pemerintah Indonesia, dan kekuatan militer di sekitar Irian Barat mulai diperkuat Sementara itu, di Indonesia telah terjadi pergantian UUD, ialah dari UUDS 1950 kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Ini berarti kekuasaan pemerintahan ada di tangan Presiden, yang dapat menentukan keputusan politik dengan cepat. Atas tindakan Indonesia yang tegas, Belanda mengimbangi dengan rencana mengirimkan kekuatan militernya ke perairan Indonesia sebelah Timur, dengan alasan untuk melindungi Irian Barat dari bahaya yang mengancam. Atas tindakan Belanda ini, maka Indonesia menyatakan memutuskan hubungan diplomatik dengan kerajaan belanda pada tanggal 17 Agustus 1960. Langkah Indonesia ini mendapat angin segar dari PBB, karena dalam Sidang Umum ke-15 tahun 1960 menghasilkan resolusi PBB Nomor 1514 yang merupakan keharusan semua anggota PBB untuk selekas mungkin mengakhiri kolonisasi dalam segala bentuk dan manifestasinya. Terjadilah perubahan sikap pada Belanda, kalau semula yang mengajukan masalah Irian barat ke PBB adalah Indonesia, sejak adanya resolusi 1514 itu, Belandalah yang mengajukan masalah Irian Barat ke PBB. Pada Sidang Umum PBB ke-16 tahun 1961, Belanda mengajukan masalah Irian Barat ke PBB, tetapi tetap masih jauh dari keinginan Indonesia.

C. Tri Komando Rakyat dan Kembalinya Irian Barat
Front Nasional Pembebasan Irian Barat yang telah dibentuk tanggal 31 Desember 1959 merupakan langkah untuk menuju keutuhan wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Pada tanggal 13 Maret 1961 organisasi tersebut diperluas dengan membentuk organisasi Tatalaksana Sekretariat Pengurus Besar Front Nasional yang bertugas: (1) menyusun dan membina potensi nasional untuk pembebasan Irian Barat, dan (2) merencanakan aksi-aksi dan tindakan-tindakan untuk membebaskan Irian Barat. Bantuan moril terhadap pengembalian wilayah Irian Barat, ternyata makin lama makin mendapat dukungan dari negara-negara lain, terutama negara-negara Asia-Afrika. Jepang yang semula bersifat netral, akhirnya juga berpihak kepada Indonesia. Rencana kunjungan muhibah kapal induk Karel Doorman milik Belanda ke Jepang yang semula sudah disetujui, akhirnya persetujuan itu dibatalkan oleh pihak Jepang. Ketegasan pemerintah Republik Indonesia dalam menyelesaikan masalah Irian Barat tampak dalam Tri Program Kabinet Kerja tahun 1960, dengan mencantumkan perjuangan Pembebasan Irian Barat sebagai salah satu program yang diikuti dengan langkah-langkah nyata. Selanjutnya Presiden telah memerintahkan untuk menyusun rencana Operasi Gabungan Irian Barat. Selanjutnya Presiden Sukarno membentuk Dewan Pertahanan Nasional (DEPERTAN), yang diberi tugas untuk merumuskan pengintegrasian segenap potensi kekuatan nasional guna membebaskan Irian Barat. Dalam rapatnya tanggal 14 Desember 1961, DEPERTAN membentuk Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat (KOTI PEMIRBAR). Panglima KOTI dijabat oleh Presiden Sukarno dan dibantu oleh ketiga Staf Angkatan: Darat, Laut, dan Udara. Dalam pidato di muka rapat akbar atau raksasa di Yogyakarta, pada tanggal 19 Desember 1961 Presiden Sukarno dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat mencanangkan suatu komando, yang dikenal sebagai Tri Komando Rakyat (Trikora). Sesudah itu dibentuklah Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dipimpin oleh Mayor Jendral Suharto. Mulailah dilakukan operasi infiltrasi masuk ke daratan Irian Barat melalui laut dan udara. Pasukan Indonesia dan para sukarelawan dalam rombongan kecil masuk Irian Barat melalui laut dengan menggunakan perahu. Sampai bulan Agustus 1962 sudah banyak yang menyusup dan mengadakan persiapan untuk melakukan penyerangan yang menentukan. Operasi infiltrasi penerjunan dari udara merupakan kegiatan yang benar-benar heroik dan patriotik. Bayangkan, kemungkinan antara hidup dan mati bagi yang diterjunkan di hutan belantara Irian Barat adalah 50: 50. Jadi kemungkinan resiko untuk gugur sangatlah besar. Pembebasan Irian Barat merupakan pengorbanan yang luar biasa bagi para putra-putri Indonesia. Kehadiran para sukarelawan Indonesia di bumi Irian Barat mendatangkan tekanan kepada pemerintah Belanda. Oleh karena itu, pemerintah Belanda setuju menyerahkan Irian Barat kepada Republik Indonesia secara bertahap. Untuk menyusun proses penyerahan, perlu dilaksanakan perjanjian di New York, Amerika Serikat yang direncanakan pada tanggal 15 Agustus 1962. Sebenarnya pemerintah Republik Indonesia sudah menyiapkan Operasi Jaya Wijaya untuk menyerbu Irian Barat secara besar-besaran, seandainya Belanda tidak mau menyerahkan Irian Barat dengan cepat dan baik-baik. Sukurlah, keadaan berjalan dengan damai, sehingga operasi Jaya Wijaya tidak sampai dilakukan. Sebab jika hal ini terjadi, maka akan memakan korban yang tidak sedikit, baik dari pihak Belanda maupun dari pihak Indonesia. Rencana Operasi Jaya Wijaya merupakan suatu rencana yang menyeluruh dan terpadu. Seandainya tidak terjadi perundingan New York, maka akan terjadi pertempuran besar-besaran di Irian Barat sesuai dengan rencana Operasi Jaya Wijaya yang disusun oleh para ahli siasat perang Indonesia. Irian Barat masih dikuasai oleh Belanda hingga 1 Oktober 1962. Pada hari itu bendera Belanda secara resmi diturunkan dari angkasa Irian Barat. Bendera Sang Merah Putih sudah berkibar secara resmi di Irian barat pada 31 Desember 1962. Pemerintah Republik Indonesia secara keseluruhan masuk ke Irian Barat pada tanggal 1 Mei 1963. Selanjutnya, Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) atau act of free choice diadakan pada tanggal 14 Juli 1969, dengan hasil rakyat Irian Barat memilih bergabung dengan Republik Indonesia. Dalam perjuangan pembebasan Irian Barat sebagaimana telah dipaparkan di muka, kapal Republik Indonesia Macan Tutul telah tenggelam secara jantan di perairan Laut Aru pada tanggal 15 januari 1962 bersama dengan Komodor Jos Sudarso dan Kapten (L) Wiratna serta pahlawanpahlawan laut lainnya.