Minggu, 07 November 2010

BAB V Kelas IX - dari Penerbit Yudhistira

BAB V

PERISTIWA MADIUN/PKI, DI/TII, DAN G 30 S/PKI SERTA KONFLIK INTERNAL LAINNYA

Peristiwa PKI di Madiun

Masa antara 1950-1959 Indonesia berada pada masa demokrasi liberal. Bentuk demokrasi liberal merupakan wujud dari pemerintahan yang menganut liberalisme (paham kebebasan). Masa demokrasi liberal ditandai dengan penerapan sistem multipartai dan kabinet parlementer. Selain itu, pada masa ini negara dipenuhi pergolakan sosial politik seperti gerakan separatis dan pergantian kabinet yang cepat. Pergolakan sosial politik terus berlanjut hingga masa demokrasi terpimpin dan menjelas tahun 60-an.

Pada 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 pihak republik dan Belanda melakukan perundingan Renville. Hasil kesepakatan dianggap menguntungkan Belanda. Sebaliknya RI menjadi pihak yang dirugikan dengan semakin sempit wilayah yang dimiliki. Oleh karena itu kabinet Amir Syarifuddin dianggap merugikan bangsa dan kabinet jatuh pada 23 Januari 1948. kabinet digantikan oleh kabinet Hatta. Selanjutnya Amir Syarifuddin membentuk FDR (front demokrasi rakyat) pada 28 Juni 1948. kelompok politik ini berusaha menempatkan diri sebagai oposisi terhadap pemeritahan dibawah kabinet Hatta. FDR bergabung dengan partai Komunis Indonesia (PKI) merencanakan suatu perebutan kekuasaan. Beberapa aksi yang dijalankan kelompok ini diantaranya adalah melancarkan propaganda anti pemerintahan, mengadakan demokstrasi, pemogokan, penculikan dan membunuh lawan-lawan politik, serta menggerakan kerusuhan di beberapa tempat seperti di Pekalongan, Brebes dan Tegal yang dikenal dengan peristiwa tiga daerah (dipimpin oleh K Mijaya) dengan menyerang pemerintahan kabupaten dan markas TKR .

Sejalan dengan peristiwa tersebut, datanglah Muso seorang tokoh komunis yang sejak lama berada di Moskwa Uni Soviet dan bergabung dengan Amir Syarifuddin untuk menentang pemerintahan, bahkan ia berhasil mengambil alih pucuk pimpinan PKI. Setelah itu ia dan kawan-kawannya meningkatkan aksi teror, mengadu domba kesatuan TNI dan menjelekan kepemimpinan Soekarno-Hatta. Puncak aksi PKI adalah pembrontakan terhadap RI pada 18 September 1948 di Madiun. Tujuan pembrontakan adalah meruntuhkan negara RI dan menggantinya dengan negara komunis. Dalam aksi ini beberapa pejabat, perwira TNI, pimpinan partai, alim ulama dan rakyat yang dianggap musuh dibunuh dengan kejam. Tindakan ini membuat rakyat marah dan mengutuk PKI. Tokoh-tokoh pejuang dan pasukan TNI memang sedang menghadapi Belanda, tapi pemerintah RI mampu bertindak cepat. Panglima besar Soedirman memerintahkan kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono di Jawa Timur untuk menjalankan operasi penumpasan pembrontakan PKI. Pada 30 September 1948 Madiun dapat diduduki kembali oleh TNI dan polisi. Dalam operasi ini, Muso berhasil ditembak, sedangkan Amir Syarifuddin dan tokoh lain ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.

Peristiwa DI/TII diberbagai Wilayah

Peristiwa DI/TII di Jawa Barat

Berdasarkan kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian Renville, divisi Siliwangi harus melakukan hijrah ke pusat pemerintahan RI di Yogyakarta. Sekitar 35.000 anggota divisi Siliwangi terpaksa diangkut dengan kapal dari Cirebon ke Rembang Jawa Tengah. Melalui darat pasukan dikumpulkan di Parujakan Cirebon untuk selanjutnya diangkut dengan kereta api ke Gombong terus ke Yogyakarta. Dalam kegiatan itu pasukan Hisbullah dan Fisabilillah yang berada di bawah pengaruh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo tetap tinggal di Jawa Barat dan tidak tunduk kepada perjanjian tersebut. Akibatnya Jawa Barat menjadi kosong oleh kekuatan pasukan RI. Pasukan Hibullah dan Fisabilillah memanfaatkan kekosongan itu dengan menyusun struktur pertahanan yang merupakan cikal bakal berdirinya sebuah negara. Rupanya SM Kartosuwiryo bercita-cita mendirikan sebuah negara Islam di Indonesia yang terpisah dari RI. Gerakan separatis yang digerakkan Kartosuwiryo bernaung dalam sebuah organisasi yang dinamakan Darul Islam (DI). Dalam perkembanganya, DI mendapat dukungan dari kalangan pemimpin politik islam radikal serta pasukan Hisbullah dan Fisabilillah. Sebagai persiapan pada bulan Februari 1948 Kartosuwiryo menyelenggarakan kongres islam di Cisayong Jawa Barat yang menghasilkan: Kartosuwiryo menjadi imam (pemimpin tertinggi) dari Negara Islam Indonesia (NII), membentuk angkatan perang yang dinamakan tentara islam indonesia (TII) yang berintikan pasukan Hisbullah dan Fisabilillah, menetapkan Undang-undang NII yaitu Qanun Asasy negara islam Indonesia.

Pada 7 Agustus 1949 Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya NII di desa Malangbong Tasikmalaya. Gerakannya dinamakan darul islam (DI) sedangkan tentara yang mendukung disebut TII. Oleh karena itu, kelompok gerakan separatis ini dinamakan DI/TII. Gerakan DI/TII kemudian merembet ke Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan.

Tatkala pasukan divisi Siliwangi melakukan long march ke tempat asalnya di Jawa Barat, mereka dihadang orang-orang DI/TII. Pertempuran antara pasukan TNI dengan DI/TII tidak dapat dihindari. Pertempuran pertama terjadi di desa Antralina, Malangbong pada 25 Januari 1949. pihak RI cukup sulit menumpas gerakan separatis DI/TII hal ini disebabkan : TNI menghadapi dua musuh yaitu Belanda dan DI/TII, basis gerilya DI/TII berada di pegunungan, DI/TII mendapat bantuan dari rakyat yang dihasutnya, DI/TII mendapat bantuan dana dari pemilik perkebunan Belanda dan tokoh negara Pasundan. Untuk menanggulangi aksi DI/TII di Jawa Barat, pemerintah RI berusaha melakukan pendekatan pribadi terhadap Kartosuwiryo yang dilakukan oleh Mohammad Natsir (Partai Masyumi) dengan tujuan agar DI/TII kembali ke RI. Namun usaha tersebut tidak memperoleh hasil sehingga TNI terpaksa menggelar Operasi Pagar Betis yang mengikutsertakan kekuatan rakyat. Melalui strategi ini ruang gerak dan wilayah kekuasaan DI/TII semakin sempit, akibatnya anggota DI/TII menyerahkan diri kepada pemerintah. Pada 4 Juni 1962 akhirnya divisi siliwangi dapat menangkap Kartosuwiryo beserta keluarga dan pengawalnya di atas Gunung Geber Majalaya. Selanjutnya dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah angkatan darat.

Peristiwa DI/TII di Jawa Tengah

Gerakan DI/TII di Jateng dipimpin oleh Amir Fattah. Ia berhasil menghimpun pengikut di daerah Brebes, Tegal dan Pekalongan. Ia mendeklarasikan berdirinya DI/TII di desa Pangarasan Tegal pada 23 Agustus 1949. tujuannya adalah mendirikan NII dan bergabung dengan DI/TII yang ada di Jawa Barat. Pemerintah berupaya menumpas pengacau keamanan dengan membentuk komando operasi militer yang diberi nama Gerakan Banteng Negara (GBN) pada bulan Januari 1950. operasi ini untuk sementara waktu dapat memperlemah kekuatan DI/TII Jawa Tengah. Namun beberapa waktu kemudian gerakan ini menjadi kuat kembali setelah bergabungnya pelarian dari Angkatan Umat Islam (AUI), gerakan Merapi-Merbabu Complex (MMC) dan pembelot dari batalyon 426 daerah Kudus dan Magelang. Menghadapi persoalan ini, divisi diponegoro kembali menggelar operasi militer dengan nama Banteng Raiders dan dapat menghancurkan DI/TII di perbatasan Pekalongan-Banyumas pada bulan Juni 1954.

Peristiwa DI/TII di Sulawesi Selatan

Gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakar. Ia berhasil menghimpun dan memimpin laskar-laskar gerilya di Sulawesi Selatan dengan nama komando gerilya Sulawesi Selatan (KGSS). Pada 30 April 1950 Kahar Muzakar mengirim surat kepada pemerintah dan pimpinan APRIS yang isinya menuntut agar KGSS dimasukan ke dalam APRIS dengan nama Brigadi Hasanudin. Tuntutan ini ditolak dengan alasan yang diterima APRIS hanya mereka yanglulus seleksi. Pemerintah memberikan tempatbagi para gerilyawan dalam wadah yang dinamakan Korps Cadangan Nasional. Pendekatan politik pemerintah rupanya membawa hasil. Kahar Muzakar menerima keputusan pemerintah. Ia kemudian diberi pangkat letnan kolonel. Akan tetapi, saat pelantikan akan dilakukan pada 17 Agustus 1950, ia melarikan diri ke hutan dengan membawa peralatan yang telah disiapkan untuk pelantikan tersebut. Ia menyatakan Sulawes Selatan merupakan bagian dari NII di bawah pimpinan Kartosuwiryo. Selama 13 tahun Kahar Muzakar melakukan berbagai aksi teror dan kekacauan di Sulawesi Selatan. Pasukan TNI dari divisi diponegoro terus menerus melancarkan serangan sehingga lambat laun memperlemah kedudukan DI/TII, akhirnya pada bulan Februari 1965 Kahar Muzakar tertembak mati.

Peristiwa DI/TII di Kalimantan Selatan

Gerakan DI/TII di Kalimantan Selatan dipimpin oleh seorang bekas letnan dua TNI yang bernama Ibnu Hadjar. Ia mendeklarasikan berdirinya DI/TII di Kalimantan Selatan pada 10 Oktober 1950 dan menyatakan gerakannya sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo. Ia menamakan pasukannya kesatuan rakyat yang tertindas (KRYT). Aksinya dimulai dengan menyerang pos-pos kesatuan tentara di Kalimantan Selatan. Meskipun demikian pemerintah masih memberikan kesempatan kepada Ibnu Hadjar untuk menghentikan gerakannya. Ibnu Hadjar menerima uluran tangan pemerintah RI dengan cara menyerahkan diri dan bergabung dengan APRIS. Kenyataannya ia hanya mengelabui pemerintah sebab setelah menerima perlengkapan militer, ia dan beberapa kawannya melarikan diri ke hutan untuk melanjutkan aksinya. Pemeritah RI mengambil tindakan tegas dengan menggempur Ibnu Hadjar dan pasukannya. Pada tahun 1959 gerakan DI/TII di Kalimantan Selatan dapat ditumpas dan Ibnu Hadjar ditangkap.

Peristiwa DI/TII di Aceh

Dipimpin oleh Tengku Daud Beureueh. Penyebabnya kekecewaan dengan hilangnya kedudukan sebagai gubernur militer dan turunnya status Aceh dari sebuah daerah istimewa menjadi karisidenan. Pada 20 September 1953 Daud Beureueh mengeluarkan maklumat yang menyatakan Aceh merupakan bagian dari NII pimpinan Kartosuwiryo. Setelah itu ia dan pengikutnya melakukan gerakan menguasai kota-kota yang ada di Aceh. Mereka berusaha pula mempengaruhi rakyat dengan propaganda yang menjelek-jelekan pemerintah RI. Pemerintah berusaha mengatasai gerakan DI/TII Aceh dengan mendatangkan pasukan dari Sumatera Utara dan Tengah. Dengan terus mendesak kedudukan DI/TII Aceh, pemerintah menyadarkan rakyat. Pada 17-28 Desember 1962 diadakan musyawarah kerukunan Aceh atas inisiatif kolonel M Yasin (panglima kodam I Iskandar Muda). Musyawarah ini didukung tokoh-tokoh pemerintah daerah dan rakyat, sehingga pembrontak dapat diakhiri dengan cara musyawarah. Tengku Daud Beureueh lantar menerima amnesti dan kembali ke tengah rakyat Aceh.

Peristiwa G 30 S/PKI

Peristiwa G 30 S/PKI bukan sebuah kejadian spontan, upaya makar pihak PKI itu telah disiapkan jauh-jauh hari. Di awal gerakannya, PKI berusaha mempengaruhi sejumlah tokoh negeri ini untuk mendukung dan bergabung dalam organisasinya. Puncaknya mereka dengan kejam membunuh sejumlah perwira angkatan darat yang dianggap merintagi tujuannya. Fakta sejarah tidak dapat dipungkiri bahwa pelaku pembunuhan terhadap sejumlah perwira angkatan darat itu dilakukan oleh PKI dan simpatisannya. Akan tetapi siapa aktor yang berada di balik peristiwa itu sampai sekarang para ahli dari dalam dan luar negeri masih berbeda penafsiran.

Latar Belakang Munculnya G 30 S/PKI

Pada penghujung masa demokrasi terpimpin, negara RI dilanda krisis sosial-politik dan ekonomi nasional yang memprihatinkan. Kondisi ini memberi peluang kepada PKI dan simpatisannya untuk memperluas pengaruhnya. Adanya pemberlakuan doktrin Nasakom turut pula mempertinggi kedudukan PKI dalam percaturan politik RI. Pada saat itu, PKI hanya dapat diimbangi oleh angkatan darat. Presiden Soekarno yang semula mempertahankan politik keseimbangan di antara PKI dengan angkatan darat. Meski demikian, lambat laun berubah menjadi memihak PKI. Hal itu juga sejalan dengan berkembangnya era perang dingin yang menempatkan pmerintah RI pada posisi pendukung negara-negara komunis. Sebagai partai yang menyatakan dirinya berjuang memperbaiki nasib rakyat, PKI berusaha mempengaruhi buruh, petani, nelayan, pedagang kecil dan pegawai rendahan. Pada saat itu pemerintah RI mengeluarkan UU No. 2 dan UU No.5 tahun 1960 tentang bagi hasil bagi penduduk dan penguasaan tanah, tetapi ternyata tidak dapat dilaksanakan. Masyarakat kelangan bawah jelas amat kecewa dengan langkah pemerintah tersebut. Kesempatan itu tidak disia-siakan PKI. PKI segera menyampaikan janji-janji kepada para buruh bahwa mereka akan mendapatkan beras dan kenaikan upah. Demikian juga kepada petani dan nelayan miskin, mereka dijanjikan akan mendapatkan tanah dan perahu dari para petani dan nelayan kaya. Akibatnya banyak masyarakat kalangan bawah yang berhasil dipengaruhi PKI, kendati mereka tidak memahami arti komunisme yang sebenarnya. Pengaruh PKI ternyata berkembang juga di kalangan seniman, wartawan, guru, mahasiswa, dosen, intelektual dan para perwira ABRI. Beberapa perwira ABRI berhasil dipengaruhi agar terus berjuang mewujudkan angkatan kelima. Ide angkatan kelima ini berasal dari Dipa Nusantara Aidit (DN Aidit) yang disampaikan kepada para wartawan pada 14 Januari 1965. ia mengatakan bahwa partainya menuntut kepada pemerintah agar kaum buruh dan tani dipersenjatai. Tuntutan PKI itu ditampung oleh Front Nasional dan diubah bentuknya menjadi sebuah kebulatan tekad sehingga seakan-akan tuntutan itu datangnya dari semua kekuatan politik. Namun pada bulan September 1965, angkatan darat secara resmi menolak pembentukan angkatan kelima. Pengaruh PKI yang sangat besar berdampak luas terhadap penentuan kebijakan pemerintah. Semua organisasi yang antikomunis atau anti PKI dapat dituduh sebagai anti pemerintah. Pada pertengahan Agustus 1960, PKI berhasil mendorong pemerintah untuk membubarkan partai Masyumi dan PSI. begitu pula terhadap kelompok Manifesto Kebudayaan (Manikebu) yang dibubarkan pemerintah pada Mei 1964. Manikebu dianggap sebagai musuh lembaga kebudayaan rakyat (Lekra) yang merupakan salah satu organisasi pendukung PKI dalam bidang kebudayaan. Selanjutnya dibubarkan pula badan pendukung Soekarno (BPS) pada Desember 1964 dan partai Murba pada september 1965 karena dinilai anti komunis. Melalui cara ini PKI berhasil melumpuhkan lawan-lawan politiknya sehingga suatu saat PKI memperkirakan akan mudah melaksanakan cita-cita menjadikan negara Indonesia yang berlandaskan paham komunis. Kendati demikian, PKI belum berhasil melumpuhkan angkatan darat yang pimpinannya tetap dipegang perwira Pancasilais. Bahkan pertentangan antara PKI dan angkatan darat semakin meningkat memasuki tahun 1965. PKI melempar desas-desus tentang adanya dewan jendral di tubuh angkatan darat berdasarkan dokumen gilchrist (dokumen yang berisikan informasi dari duta besar inggris -Sir Andrew Gilchrist- tentang adanya persekongkolan para perwira angkatan darat untuk merebut kekuasaan dari presiden Soekarno). Tuduhan ini dibantah angkatan darat dan sebaliknya, angkatan darat menuduh PKI akan melakukan perebutan kekuasaan.

Terjadinya Peristiwa G 30 S/PKI

PKI menganggap angkatan darat merupakan penghalang utama untuk menjadikan Indonesia sebagai negara komunis. Oleh karena itu PKI segera merencanakan suatu tindakan menghabisi para perwira angkatan darat yang menghalangi cita-citanya. Setelah segala persiapan dianggap selesai, pada 30 September 1965 PKI mulai melancarkan gerakan perebutan kekuasaan. Gerakan ini dipimpin oleh letkol Untung Sutopo (komandan batalion I resimen cakrabirawa). Pada 1 Oktober 1965 dinihari pasukan pemberontak menyebar ke segenap penjuru Jakarta. Mereka berhasil membunuh dan menculik perwira angkatan darat yaitu: letjen Ahmad Yani, mayjen R Suprapto, mayjen S Parman, mayjen MT Haryono, brigjen DI Panjaitan, dan brigjen Sutoyo Siswomihardjo. Jendral AH Nasution (menteri kompartemen/kepala staf angkatan bersenjata) yang menjadi sasaran utama berhasil meloloskan diri dari upaya penculikan. Akan tetapi putrinya, Ade Irma Suryani meninggal setelah peluru penculik menembus tubuhnya. Dalan peristiwa itu tewas pula lettu Piere A Tendean, ajudan AH Nasution, dibunuh karena melakukan perlawanan terhadap PKI. Demikian pula brigadir polisi Satsuit Tubun yang tewas ketika mengawal rumah wakil perdana menteri (Waperdam) II Dr. J Leimena, yang rumahnya berdampingan dengan jendral AH Nasution.

Di perkampungan Lubang Buaya para pemberontak PKI beramai-ramai menyiksa dan membunuh para perwira angkatan darat. Mayat-mayat mereka dimasukkan ke dalam sumur kering dengan kedalaman 12 meter. Para pembrontak kemudian menyumbat lubang tersebut dengan sampah dan daun-daun kering. Seorang saksi mata peristiwa G 30 S/PKI yang lolos dari upaya pembunuhan ialah letkol pol Sukitman. Ia menyampaikan pengalaman tragisnya sebagai berikut:

Pada 30 September 1965 malam dan menjelang dini hari 1 Oktober 1965, saya dengan mengendarai sepeda tengah patroli di Jalan Iskandarsyah Kebayoran Baru. Tiba-tiba terdengan suara tembakan. Ketika saya cek, saya dihadang pasukan Cakrabirawa. Saya kemudian diseret dan dimasukkan di kabin sebuah bus di samping sopir. Dengan todongan senjata, kedua tangan saya diikat ke belakang dan kedua mata saya ditutup kain. Saya baru tahu beberapa hari kemudian tembakan itu berasal dari rumah DI Panjaitan. Dari bus, saya diturunkan di sebuah tempat. Dan ketika tutup mata saya dibuka, masih dalam suasana remang-remang saya melihat di sekitarnya telah penuh dengan pasukan sukarelawan dan sukarelawati pemuda rakyat dan Gerwani. Saya kemudian dibawa ke dalam tenda. Disini saya mendengar kata-kata “yani wis dipateni”. Saya juga melihat ada orang yang telentang berlumuran darah, dan ada duduk sambil diikat tangan dan ditutup matanya. Kemudian saya ditawan di sebuah rumah, bentuknya seperti sekolah emperan, karena ada bangku-bangku dan papan tulis. Di tempat ini, menjelang matahari terbit, saya menyaksikan satu persatu tawanan itu diseret dan kemudian diceburkan ke sumur, mereka kemudian ditembaki. Tembakan diarahkan dari kepala hingga kaki. Sementara para pasukan sukarelawan dan sukarelawati pemuda rakyat dan Gerwani dengan bersorak-sorak meneriakkan “Ganyang Kapitalis birokrat” dan “Ganyang Nekolim”. Saat penyiksaan, saya benar-benar ngeri dan takut. Saya hanya pasrah pada Tuhan, saya sendiri tidak tahu kalau yang disiksa itu para pahlawan revolusi. Waktu itu saya menyangka mereka para kapbir seperti yang disebutkan oleh PKI. Saya juga tidak tahu kalau tempat yang banyak pohon karetnya itu lubang buaya. Saya melihat seorang berbadan pendek dan gemuk terikat tengah diseret dengan todongan senjata. Mata ditutup, kemudian orang itu didudukkan di kursi dan dipaksa untuk menandatangani sesuatu. Tetapi ketika orang itu menolak, ia diikat kembali. Kemudian diseret dan diceburkan ke sumur untuk kemudian ditembaki seperti yang dialami rekan-rekannya. Saya baru tahu kemudian orang itu adalah jenderal S. Parman. Setelah semua korban dimasukan ke sumur, kira-kira jam 08.00 pagi, para sukwan dan sukwati beramai-ramai menutupi sumur dengan sampah dan daun pohon yang telah kering. Saya kemudian dipanggil lettu Dul Arif dan letnan Siman, keduanya dari cakrabirawa yang menjadi komandan penculikan para jendral. Lettu Dul Arif mengembalikan senjata saya yang sudah patah kayunya. Pada sore hari, saya dibawa lettu Dul Arif ke sebuah lapangan di Halim Perdana Kusuma, dekat penas. Kemudian saya bersama Iskak, sopir lettu Dul Arif mengambil nasi ke suatu tempat dekat maskas provost AURI, kemudian kembali lagi ke daerah Halim untuk membagi-bagikan nasi. Disini saya tertidur sampai pagi. Pada 2 Oktober 1965 saya melihat satuan-satuan cakrabirawa telah berganti pakaiannya. Bila sebelumnya mereka memakai jaket dan seragam coklat, kini loreng-loreng. Pada sore hari saya berada sendirian, karena lelah saya berteduh di bawah kolong bus dan kemudian tertidur. Dalam keadaan sadar tidak sadar, kemudian saya mendengar suara tembakan. Pasukan yang dipimpin Dul Arif lari kocar-kacir menggunakan truk dan saya ditinggalkan sendirian. Saya menganggap kejadian ini sebagai mukjizat, bagaimana jadinya kalau saya tidak tidur dan ikut bersama dengan pasukan pemberontak atau mereka menembak mati saya terlebih dahulu.

Setelah berhasil membunuh beberapa perwira Angkatan Darat, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang isinya sebagai berikut :

- PKI telah melakukan gerakan yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah.

- Mengeluarkan dekrit pembentukan “Dewan Revolusi” yang terdiri dari 45 orang yang diketuai letkol Untung Sutopo dengan wakil ketua brigjen Supardjo, letkol Heru, kol Sunardi dan ajun komisaris besar polisi Anwas.

- Mendemisionerkan kabinet Dwikora

- Menghapus pangkat jenderal dan pangkat tertinggi dalam ABRI dan menggantinya dengan letnan kolonel. Mereka yang berpangkat diatas letnan kolonel harus menyatakan kesetiaannya kepada Dewan Revolusi untuk selanjutnya berhak memakai tanda pangkat letnan kolonel. Adapun bintara dan tamtama ABRI yang ikut melaksanakan gerekan 30 september, pangkatnya dinaikan satu tingkat dan yang ikut gerakan pembersihan Dewan Jenderal dinaikan dua tingkat.

Di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap kolonel Katamso (komandan korem 072/Yogyakarta) dan letnan kolonel Sugiyono (kepala staf korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965 oleh pemberontak PKI dari Batalion “L” di Desa Kentungan. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi.

Persaingan Ideologis dan Pergolakan Sosial Politik pada Masa Demokrasi Terpimpin

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 telah mengakhiri eksperimen politik bangsa Indonesia dengan sistem Demokrasi Liberal. Pemerintah RI kemudian menggulirkan roda pemerintahan berdasarkan UUD 1945 dalam kerangka Demokrasi Terpimpim. Partai-partai politik dan beberapa tokoh politik segera menanggapi manuver pemerintah tersebut dengan sikap pro dan kontra. Dalam kondisi seperti itu, muncullah konflik-konflik antar tokoh bangsa Indonesia dan pergolakan sosial politik yang amat mempengaruhi stabilitas dan eksistensi negara RI.

Nasakom dan Sentralisasi Kekuasaan

Pada masa dekokrasi liberal, presiden tidak memiliki peran menentukan terhadap jalannya roda pemerintahan. Kekuasaan memimpin pemerintahan berada pada seorang perdana menteri. Tampaknya peran presiden hanya sebagai penasehat saja. Oleh karena itu, presiden Soekarno berkepentingan mengembalikan UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi yang memberi ruang gerak cukup besar bagi peran seorang presiden. Konstituante yang tidak berhasil merancang UUD baru telah membuka jalan bagi presiden untuk mengumandangkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Sejak berlaku kembali UUD 1945, presiden Soekarno kemudian melontarkan manuver politik dalam bentuk gagasan, yaitu doktrin Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis). Gagasan ini diciptakan untuk menggalang kerukunan nasional antar ideologi yang berbeda-beda dalam masyarakat. Sejarah panjang dalam masa Demokrari Liberal telah memperlihatkan betapa porak-porandanya negara akibat tidak adanya persatuan dan kesatuan. Menurut presiden, golongan nasionalis (PNI), agama (NU) dan Komunis (PKI) yang merupakan partai-partai terbesar di Indonesia harus menggalang persatuan dan bahu-membahu membangun bangsa.

Demi memasyarakatkan ajaran Nasakom, pemerintah menyelenggarakan pendidikan kilat kader Nasako, dari 1 – 10 Juni 1965. pendidikan ini diikuti oleh ribuan peserta dari partai politik, organisasi massa, pegawai negeri, anggota TNI dan Polri, kalangan universitas, dan pihak swasta. Melalui Nasakomisasi ini, kehidupan berbangsa dan bernegara seolah-olah buka lagi berdasarkan Pancasila, melainkan Nasakom.

Pemasyarakatan ajaran Nasakom ternyata memberi dampak semakin kuatnya kedudukan presiden di mata masyarakat. Pada saat itu ada kesan bahwa menolak Nasakom berarti menolak kepemimpinan presiden Soekarno. PKI merupakan kelompok politik terdepan yang mendukung ajaran Nasakom. Sebab selain ajaran Nasakom seolah-olah akan menggeser Pancasila, juga dalam perkembangannya presiden lebih banyak berpihak kepada kepentingan PKI. Apalagi presiden Soekarno dikenal sebagai seorang tokoh pengagum Marxisme/Leninisme, kendati ia bukan seorang penganut paham komunis. Soekarno juga mengajarkan Resopim (Revolusi, Sosialisme Indonesia dan Pimpinan Nasional) yang disampaikan pada HUT RI 17 Agustus 1961. resopim ini diarahkan untuk memperkuat kedudukan presiden dalam pemerintahan. Dalam resopim sosialisme indonesia dapat dicapai hanya melalui revolusi yang dikendalikan oleh pimpinan nasional yang disebut Pemimpin Besar Revolusi (Presiden Soekarno).

Politik Imbangan Kekuatan (Balance of Power)

Masa demokrasi liberal jalannya pemerintahan dikendalikan oleh partai dan parlemen. Sementara presiden hanya dijadikan sebagai pemimpin bangsa, keadaan ini membuat presiden dan angkatan darat tidak puas. Sehingga lahirlah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. yang mengungtungkan presiden (sentralisasi kekuasaan pemerintahan) maupun angkatan darat (menguasai perusahaan-perusahaan negara).

(tunggu halaman selanjutnya.......)


1 komentar:

  1. PokerStars Casino | $25 no deposit bonus - JTHub
    › › 군포 출장마사지 Casino Hotels › › Casino Hotels Casino Hotels 삼척 출장마사지 - $25 no deposit bonus · PokerStars 울산광역 출장샵 Casino. $25 no deposit bonus · PokerStars 원주 출장안마 Casino. $25 no deposit bonus · PokerStars 전주 출장샵 Casino. $25 no deposit bonus

    BalasHapus