Minggu, 07 November 2010

BAB V Kelas IX - dari Penerbit Yudhistira

BAB V

PERISTIWA MADIUN/PKI, DI/TII, DAN G 30 S/PKI SERTA KONFLIK INTERNAL LAINNYA

Peristiwa PKI di Madiun

Masa antara 1950-1959 Indonesia berada pada masa demokrasi liberal. Bentuk demokrasi liberal merupakan wujud dari pemerintahan yang menganut liberalisme (paham kebebasan). Masa demokrasi liberal ditandai dengan penerapan sistem multipartai dan kabinet parlementer. Selain itu, pada masa ini negara dipenuhi pergolakan sosial politik seperti gerakan separatis dan pergantian kabinet yang cepat. Pergolakan sosial politik terus berlanjut hingga masa demokrasi terpimpin dan menjelas tahun 60-an.

Pada 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 pihak republik dan Belanda melakukan perundingan Renville. Hasil kesepakatan dianggap menguntungkan Belanda. Sebaliknya RI menjadi pihak yang dirugikan dengan semakin sempit wilayah yang dimiliki. Oleh karena itu kabinet Amir Syarifuddin dianggap merugikan bangsa dan kabinet jatuh pada 23 Januari 1948. kabinet digantikan oleh kabinet Hatta. Selanjutnya Amir Syarifuddin membentuk FDR (front demokrasi rakyat) pada 28 Juni 1948. kelompok politik ini berusaha menempatkan diri sebagai oposisi terhadap pemeritahan dibawah kabinet Hatta. FDR bergabung dengan partai Komunis Indonesia (PKI) merencanakan suatu perebutan kekuasaan. Beberapa aksi yang dijalankan kelompok ini diantaranya adalah melancarkan propaganda anti pemerintahan, mengadakan demokstrasi, pemogokan, penculikan dan membunuh lawan-lawan politik, serta menggerakan kerusuhan di beberapa tempat seperti di Pekalongan, Brebes dan Tegal yang dikenal dengan peristiwa tiga daerah (dipimpin oleh K Mijaya) dengan menyerang pemerintahan kabupaten dan markas TKR .

Sejalan dengan peristiwa tersebut, datanglah Muso seorang tokoh komunis yang sejak lama berada di Moskwa Uni Soviet dan bergabung dengan Amir Syarifuddin untuk menentang pemerintahan, bahkan ia berhasil mengambil alih pucuk pimpinan PKI. Setelah itu ia dan kawan-kawannya meningkatkan aksi teror, mengadu domba kesatuan TNI dan menjelekan kepemimpinan Soekarno-Hatta. Puncak aksi PKI adalah pembrontakan terhadap RI pada 18 September 1948 di Madiun. Tujuan pembrontakan adalah meruntuhkan negara RI dan menggantinya dengan negara komunis. Dalam aksi ini beberapa pejabat, perwira TNI, pimpinan partai, alim ulama dan rakyat yang dianggap musuh dibunuh dengan kejam. Tindakan ini membuat rakyat marah dan mengutuk PKI. Tokoh-tokoh pejuang dan pasukan TNI memang sedang menghadapi Belanda, tapi pemerintah RI mampu bertindak cepat. Panglima besar Soedirman memerintahkan kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono di Jawa Timur untuk menjalankan operasi penumpasan pembrontakan PKI. Pada 30 September 1948 Madiun dapat diduduki kembali oleh TNI dan polisi. Dalam operasi ini, Muso berhasil ditembak, sedangkan Amir Syarifuddin dan tokoh lain ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.

Peristiwa DI/TII diberbagai Wilayah

Peristiwa DI/TII di Jawa Barat

Berdasarkan kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian Renville, divisi Siliwangi harus melakukan hijrah ke pusat pemerintahan RI di Yogyakarta. Sekitar 35.000 anggota divisi Siliwangi terpaksa diangkut dengan kapal dari Cirebon ke Rembang Jawa Tengah. Melalui darat pasukan dikumpulkan di Parujakan Cirebon untuk selanjutnya diangkut dengan kereta api ke Gombong terus ke Yogyakarta. Dalam kegiatan itu pasukan Hisbullah dan Fisabilillah yang berada di bawah pengaruh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo tetap tinggal di Jawa Barat dan tidak tunduk kepada perjanjian tersebut. Akibatnya Jawa Barat menjadi kosong oleh kekuatan pasukan RI. Pasukan Hibullah dan Fisabilillah memanfaatkan kekosongan itu dengan menyusun struktur pertahanan yang merupakan cikal bakal berdirinya sebuah negara. Rupanya SM Kartosuwiryo bercita-cita mendirikan sebuah negara Islam di Indonesia yang terpisah dari RI. Gerakan separatis yang digerakkan Kartosuwiryo bernaung dalam sebuah organisasi yang dinamakan Darul Islam (DI). Dalam perkembanganya, DI mendapat dukungan dari kalangan pemimpin politik islam radikal serta pasukan Hisbullah dan Fisabilillah. Sebagai persiapan pada bulan Februari 1948 Kartosuwiryo menyelenggarakan kongres islam di Cisayong Jawa Barat yang menghasilkan: Kartosuwiryo menjadi imam (pemimpin tertinggi) dari Negara Islam Indonesia (NII), membentuk angkatan perang yang dinamakan tentara islam indonesia (TII) yang berintikan pasukan Hisbullah dan Fisabilillah, menetapkan Undang-undang NII yaitu Qanun Asasy negara islam Indonesia.

Pada 7 Agustus 1949 Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya NII di desa Malangbong Tasikmalaya. Gerakannya dinamakan darul islam (DI) sedangkan tentara yang mendukung disebut TII. Oleh karena itu, kelompok gerakan separatis ini dinamakan DI/TII. Gerakan DI/TII kemudian merembet ke Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan.

Tatkala pasukan divisi Siliwangi melakukan long march ke tempat asalnya di Jawa Barat, mereka dihadang orang-orang DI/TII. Pertempuran antara pasukan TNI dengan DI/TII tidak dapat dihindari. Pertempuran pertama terjadi di desa Antralina, Malangbong pada 25 Januari 1949. pihak RI cukup sulit menumpas gerakan separatis DI/TII hal ini disebabkan : TNI menghadapi dua musuh yaitu Belanda dan DI/TII, basis gerilya DI/TII berada di pegunungan, DI/TII mendapat bantuan dari rakyat yang dihasutnya, DI/TII mendapat bantuan dana dari pemilik perkebunan Belanda dan tokoh negara Pasundan. Untuk menanggulangi aksi DI/TII di Jawa Barat, pemerintah RI berusaha melakukan pendekatan pribadi terhadap Kartosuwiryo yang dilakukan oleh Mohammad Natsir (Partai Masyumi) dengan tujuan agar DI/TII kembali ke RI. Namun usaha tersebut tidak memperoleh hasil sehingga TNI terpaksa menggelar Operasi Pagar Betis yang mengikutsertakan kekuatan rakyat. Melalui strategi ini ruang gerak dan wilayah kekuasaan DI/TII semakin sempit, akibatnya anggota DI/TII menyerahkan diri kepada pemerintah. Pada 4 Juni 1962 akhirnya divisi siliwangi dapat menangkap Kartosuwiryo beserta keluarga dan pengawalnya di atas Gunung Geber Majalaya. Selanjutnya dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah angkatan darat.

Peristiwa DI/TII di Jawa Tengah

Gerakan DI/TII di Jateng dipimpin oleh Amir Fattah. Ia berhasil menghimpun pengikut di daerah Brebes, Tegal dan Pekalongan. Ia mendeklarasikan berdirinya DI/TII di desa Pangarasan Tegal pada 23 Agustus 1949. tujuannya adalah mendirikan NII dan bergabung dengan DI/TII yang ada di Jawa Barat. Pemerintah berupaya menumpas pengacau keamanan dengan membentuk komando operasi militer yang diberi nama Gerakan Banteng Negara (GBN) pada bulan Januari 1950. operasi ini untuk sementara waktu dapat memperlemah kekuatan DI/TII Jawa Tengah. Namun beberapa waktu kemudian gerakan ini menjadi kuat kembali setelah bergabungnya pelarian dari Angkatan Umat Islam (AUI), gerakan Merapi-Merbabu Complex (MMC) dan pembelot dari batalyon 426 daerah Kudus dan Magelang. Menghadapi persoalan ini, divisi diponegoro kembali menggelar operasi militer dengan nama Banteng Raiders dan dapat menghancurkan DI/TII di perbatasan Pekalongan-Banyumas pada bulan Juni 1954.

Peristiwa DI/TII di Sulawesi Selatan

Gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakar. Ia berhasil menghimpun dan memimpin laskar-laskar gerilya di Sulawesi Selatan dengan nama komando gerilya Sulawesi Selatan (KGSS). Pada 30 April 1950 Kahar Muzakar mengirim surat kepada pemerintah dan pimpinan APRIS yang isinya menuntut agar KGSS dimasukan ke dalam APRIS dengan nama Brigadi Hasanudin. Tuntutan ini ditolak dengan alasan yang diterima APRIS hanya mereka yanglulus seleksi. Pemerintah memberikan tempatbagi para gerilyawan dalam wadah yang dinamakan Korps Cadangan Nasional. Pendekatan politik pemerintah rupanya membawa hasil. Kahar Muzakar menerima keputusan pemerintah. Ia kemudian diberi pangkat letnan kolonel. Akan tetapi, saat pelantikan akan dilakukan pada 17 Agustus 1950, ia melarikan diri ke hutan dengan membawa peralatan yang telah disiapkan untuk pelantikan tersebut. Ia menyatakan Sulawes Selatan merupakan bagian dari NII di bawah pimpinan Kartosuwiryo. Selama 13 tahun Kahar Muzakar melakukan berbagai aksi teror dan kekacauan di Sulawesi Selatan. Pasukan TNI dari divisi diponegoro terus menerus melancarkan serangan sehingga lambat laun memperlemah kedudukan DI/TII, akhirnya pada bulan Februari 1965 Kahar Muzakar tertembak mati.

Peristiwa DI/TII di Kalimantan Selatan

Gerakan DI/TII di Kalimantan Selatan dipimpin oleh seorang bekas letnan dua TNI yang bernama Ibnu Hadjar. Ia mendeklarasikan berdirinya DI/TII di Kalimantan Selatan pada 10 Oktober 1950 dan menyatakan gerakannya sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo. Ia menamakan pasukannya kesatuan rakyat yang tertindas (KRYT). Aksinya dimulai dengan menyerang pos-pos kesatuan tentara di Kalimantan Selatan. Meskipun demikian pemerintah masih memberikan kesempatan kepada Ibnu Hadjar untuk menghentikan gerakannya. Ibnu Hadjar menerima uluran tangan pemerintah RI dengan cara menyerahkan diri dan bergabung dengan APRIS. Kenyataannya ia hanya mengelabui pemerintah sebab setelah menerima perlengkapan militer, ia dan beberapa kawannya melarikan diri ke hutan untuk melanjutkan aksinya. Pemeritah RI mengambil tindakan tegas dengan menggempur Ibnu Hadjar dan pasukannya. Pada tahun 1959 gerakan DI/TII di Kalimantan Selatan dapat ditumpas dan Ibnu Hadjar ditangkap.

Peristiwa DI/TII di Aceh

Dipimpin oleh Tengku Daud Beureueh. Penyebabnya kekecewaan dengan hilangnya kedudukan sebagai gubernur militer dan turunnya status Aceh dari sebuah daerah istimewa menjadi karisidenan. Pada 20 September 1953 Daud Beureueh mengeluarkan maklumat yang menyatakan Aceh merupakan bagian dari NII pimpinan Kartosuwiryo. Setelah itu ia dan pengikutnya melakukan gerakan menguasai kota-kota yang ada di Aceh. Mereka berusaha pula mempengaruhi rakyat dengan propaganda yang menjelek-jelekan pemerintah RI. Pemerintah berusaha mengatasai gerakan DI/TII Aceh dengan mendatangkan pasukan dari Sumatera Utara dan Tengah. Dengan terus mendesak kedudukan DI/TII Aceh, pemerintah menyadarkan rakyat. Pada 17-28 Desember 1962 diadakan musyawarah kerukunan Aceh atas inisiatif kolonel M Yasin (panglima kodam I Iskandar Muda). Musyawarah ini didukung tokoh-tokoh pemerintah daerah dan rakyat, sehingga pembrontak dapat diakhiri dengan cara musyawarah. Tengku Daud Beureueh lantar menerima amnesti dan kembali ke tengah rakyat Aceh.

Peristiwa G 30 S/PKI

Peristiwa G 30 S/PKI bukan sebuah kejadian spontan, upaya makar pihak PKI itu telah disiapkan jauh-jauh hari. Di awal gerakannya, PKI berusaha mempengaruhi sejumlah tokoh negeri ini untuk mendukung dan bergabung dalam organisasinya. Puncaknya mereka dengan kejam membunuh sejumlah perwira angkatan darat yang dianggap merintagi tujuannya. Fakta sejarah tidak dapat dipungkiri bahwa pelaku pembunuhan terhadap sejumlah perwira angkatan darat itu dilakukan oleh PKI dan simpatisannya. Akan tetapi siapa aktor yang berada di balik peristiwa itu sampai sekarang para ahli dari dalam dan luar negeri masih berbeda penafsiran.

Latar Belakang Munculnya G 30 S/PKI

Pada penghujung masa demokrasi terpimpin, negara RI dilanda krisis sosial-politik dan ekonomi nasional yang memprihatinkan. Kondisi ini memberi peluang kepada PKI dan simpatisannya untuk memperluas pengaruhnya. Adanya pemberlakuan doktrin Nasakom turut pula mempertinggi kedudukan PKI dalam percaturan politik RI. Pada saat itu, PKI hanya dapat diimbangi oleh angkatan darat. Presiden Soekarno yang semula mempertahankan politik keseimbangan di antara PKI dengan angkatan darat. Meski demikian, lambat laun berubah menjadi memihak PKI. Hal itu juga sejalan dengan berkembangnya era perang dingin yang menempatkan pmerintah RI pada posisi pendukung negara-negara komunis. Sebagai partai yang menyatakan dirinya berjuang memperbaiki nasib rakyat, PKI berusaha mempengaruhi buruh, petani, nelayan, pedagang kecil dan pegawai rendahan. Pada saat itu pemerintah RI mengeluarkan UU No. 2 dan UU No.5 tahun 1960 tentang bagi hasil bagi penduduk dan penguasaan tanah, tetapi ternyata tidak dapat dilaksanakan. Masyarakat kelangan bawah jelas amat kecewa dengan langkah pemerintah tersebut. Kesempatan itu tidak disia-siakan PKI. PKI segera menyampaikan janji-janji kepada para buruh bahwa mereka akan mendapatkan beras dan kenaikan upah. Demikian juga kepada petani dan nelayan miskin, mereka dijanjikan akan mendapatkan tanah dan perahu dari para petani dan nelayan kaya. Akibatnya banyak masyarakat kalangan bawah yang berhasil dipengaruhi PKI, kendati mereka tidak memahami arti komunisme yang sebenarnya. Pengaruh PKI ternyata berkembang juga di kalangan seniman, wartawan, guru, mahasiswa, dosen, intelektual dan para perwira ABRI. Beberapa perwira ABRI berhasil dipengaruhi agar terus berjuang mewujudkan angkatan kelima. Ide angkatan kelima ini berasal dari Dipa Nusantara Aidit (DN Aidit) yang disampaikan kepada para wartawan pada 14 Januari 1965. ia mengatakan bahwa partainya menuntut kepada pemerintah agar kaum buruh dan tani dipersenjatai. Tuntutan PKI itu ditampung oleh Front Nasional dan diubah bentuknya menjadi sebuah kebulatan tekad sehingga seakan-akan tuntutan itu datangnya dari semua kekuatan politik. Namun pada bulan September 1965, angkatan darat secara resmi menolak pembentukan angkatan kelima. Pengaruh PKI yang sangat besar berdampak luas terhadap penentuan kebijakan pemerintah. Semua organisasi yang antikomunis atau anti PKI dapat dituduh sebagai anti pemerintah. Pada pertengahan Agustus 1960, PKI berhasil mendorong pemerintah untuk membubarkan partai Masyumi dan PSI. begitu pula terhadap kelompok Manifesto Kebudayaan (Manikebu) yang dibubarkan pemerintah pada Mei 1964. Manikebu dianggap sebagai musuh lembaga kebudayaan rakyat (Lekra) yang merupakan salah satu organisasi pendukung PKI dalam bidang kebudayaan. Selanjutnya dibubarkan pula badan pendukung Soekarno (BPS) pada Desember 1964 dan partai Murba pada september 1965 karena dinilai anti komunis. Melalui cara ini PKI berhasil melumpuhkan lawan-lawan politiknya sehingga suatu saat PKI memperkirakan akan mudah melaksanakan cita-cita menjadikan negara Indonesia yang berlandaskan paham komunis. Kendati demikian, PKI belum berhasil melumpuhkan angkatan darat yang pimpinannya tetap dipegang perwira Pancasilais. Bahkan pertentangan antara PKI dan angkatan darat semakin meningkat memasuki tahun 1965. PKI melempar desas-desus tentang adanya dewan jendral di tubuh angkatan darat berdasarkan dokumen gilchrist (dokumen yang berisikan informasi dari duta besar inggris -Sir Andrew Gilchrist- tentang adanya persekongkolan para perwira angkatan darat untuk merebut kekuasaan dari presiden Soekarno). Tuduhan ini dibantah angkatan darat dan sebaliknya, angkatan darat menuduh PKI akan melakukan perebutan kekuasaan.

Terjadinya Peristiwa G 30 S/PKI

PKI menganggap angkatan darat merupakan penghalang utama untuk menjadikan Indonesia sebagai negara komunis. Oleh karena itu PKI segera merencanakan suatu tindakan menghabisi para perwira angkatan darat yang menghalangi cita-citanya. Setelah segala persiapan dianggap selesai, pada 30 September 1965 PKI mulai melancarkan gerakan perebutan kekuasaan. Gerakan ini dipimpin oleh letkol Untung Sutopo (komandan batalion I resimen cakrabirawa). Pada 1 Oktober 1965 dinihari pasukan pemberontak menyebar ke segenap penjuru Jakarta. Mereka berhasil membunuh dan menculik perwira angkatan darat yaitu: letjen Ahmad Yani, mayjen R Suprapto, mayjen S Parman, mayjen MT Haryono, brigjen DI Panjaitan, dan brigjen Sutoyo Siswomihardjo. Jendral AH Nasution (menteri kompartemen/kepala staf angkatan bersenjata) yang menjadi sasaran utama berhasil meloloskan diri dari upaya penculikan. Akan tetapi putrinya, Ade Irma Suryani meninggal setelah peluru penculik menembus tubuhnya. Dalan peristiwa itu tewas pula lettu Piere A Tendean, ajudan AH Nasution, dibunuh karena melakukan perlawanan terhadap PKI. Demikian pula brigadir polisi Satsuit Tubun yang tewas ketika mengawal rumah wakil perdana menteri (Waperdam) II Dr. J Leimena, yang rumahnya berdampingan dengan jendral AH Nasution.

Di perkampungan Lubang Buaya para pemberontak PKI beramai-ramai menyiksa dan membunuh para perwira angkatan darat. Mayat-mayat mereka dimasukkan ke dalam sumur kering dengan kedalaman 12 meter. Para pembrontak kemudian menyumbat lubang tersebut dengan sampah dan daun-daun kering. Seorang saksi mata peristiwa G 30 S/PKI yang lolos dari upaya pembunuhan ialah letkol pol Sukitman. Ia menyampaikan pengalaman tragisnya sebagai berikut:

Pada 30 September 1965 malam dan menjelang dini hari 1 Oktober 1965, saya dengan mengendarai sepeda tengah patroli di Jalan Iskandarsyah Kebayoran Baru. Tiba-tiba terdengan suara tembakan. Ketika saya cek, saya dihadang pasukan Cakrabirawa. Saya kemudian diseret dan dimasukkan di kabin sebuah bus di samping sopir. Dengan todongan senjata, kedua tangan saya diikat ke belakang dan kedua mata saya ditutup kain. Saya baru tahu beberapa hari kemudian tembakan itu berasal dari rumah DI Panjaitan. Dari bus, saya diturunkan di sebuah tempat. Dan ketika tutup mata saya dibuka, masih dalam suasana remang-remang saya melihat di sekitarnya telah penuh dengan pasukan sukarelawan dan sukarelawati pemuda rakyat dan Gerwani. Saya kemudian dibawa ke dalam tenda. Disini saya mendengar kata-kata “yani wis dipateni”. Saya juga melihat ada orang yang telentang berlumuran darah, dan ada duduk sambil diikat tangan dan ditutup matanya. Kemudian saya ditawan di sebuah rumah, bentuknya seperti sekolah emperan, karena ada bangku-bangku dan papan tulis. Di tempat ini, menjelang matahari terbit, saya menyaksikan satu persatu tawanan itu diseret dan kemudian diceburkan ke sumur, mereka kemudian ditembaki. Tembakan diarahkan dari kepala hingga kaki. Sementara para pasukan sukarelawan dan sukarelawati pemuda rakyat dan Gerwani dengan bersorak-sorak meneriakkan “Ganyang Kapitalis birokrat” dan “Ganyang Nekolim”. Saat penyiksaan, saya benar-benar ngeri dan takut. Saya hanya pasrah pada Tuhan, saya sendiri tidak tahu kalau yang disiksa itu para pahlawan revolusi. Waktu itu saya menyangka mereka para kapbir seperti yang disebutkan oleh PKI. Saya juga tidak tahu kalau tempat yang banyak pohon karetnya itu lubang buaya. Saya melihat seorang berbadan pendek dan gemuk terikat tengah diseret dengan todongan senjata. Mata ditutup, kemudian orang itu didudukkan di kursi dan dipaksa untuk menandatangani sesuatu. Tetapi ketika orang itu menolak, ia diikat kembali. Kemudian diseret dan diceburkan ke sumur untuk kemudian ditembaki seperti yang dialami rekan-rekannya. Saya baru tahu kemudian orang itu adalah jenderal S. Parman. Setelah semua korban dimasukan ke sumur, kira-kira jam 08.00 pagi, para sukwan dan sukwati beramai-ramai menutupi sumur dengan sampah dan daun pohon yang telah kering. Saya kemudian dipanggil lettu Dul Arif dan letnan Siman, keduanya dari cakrabirawa yang menjadi komandan penculikan para jendral. Lettu Dul Arif mengembalikan senjata saya yang sudah patah kayunya. Pada sore hari, saya dibawa lettu Dul Arif ke sebuah lapangan di Halim Perdana Kusuma, dekat penas. Kemudian saya bersama Iskak, sopir lettu Dul Arif mengambil nasi ke suatu tempat dekat maskas provost AURI, kemudian kembali lagi ke daerah Halim untuk membagi-bagikan nasi. Disini saya tertidur sampai pagi. Pada 2 Oktober 1965 saya melihat satuan-satuan cakrabirawa telah berganti pakaiannya. Bila sebelumnya mereka memakai jaket dan seragam coklat, kini loreng-loreng. Pada sore hari saya berada sendirian, karena lelah saya berteduh di bawah kolong bus dan kemudian tertidur. Dalam keadaan sadar tidak sadar, kemudian saya mendengar suara tembakan. Pasukan yang dipimpin Dul Arif lari kocar-kacir menggunakan truk dan saya ditinggalkan sendirian. Saya menganggap kejadian ini sebagai mukjizat, bagaimana jadinya kalau saya tidak tidur dan ikut bersama dengan pasukan pemberontak atau mereka menembak mati saya terlebih dahulu.

Setelah berhasil membunuh beberapa perwira Angkatan Darat, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang isinya sebagai berikut :

- PKI telah melakukan gerakan yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah.

- Mengeluarkan dekrit pembentukan “Dewan Revolusi” yang terdiri dari 45 orang yang diketuai letkol Untung Sutopo dengan wakil ketua brigjen Supardjo, letkol Heru, kol Sunardi dan ajun komisaris besar polisi Anwas.

- Mendemisionerkan kabinet Dwikora

- Menghapus pangkat jenderal dan pangkat tertinggi dalam ABRI dan menggantinya dengan letnan kolonel. Mereka yang berpangkat diatas letnan kolonel harus menyatakan kesetiaannya kepada Dewan Revolusi untuk selanjutnya berhak memakai tanda pangkat letnan kolonel. Adapun bintara dan tamtama ABRI yang ikut melaksanakan gerekan 30 september, pangkatnya dinaikan satu tingkat dan yang ikut gerakan pembersihan Dewan Jenderal dinaikan dua tingkat.

Di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap kolonel Katamso (komandan korem 072/Yogyakarta) dan letnan kolonel Sugiyono (kepala staf korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965 oleh pemberontak PKI dari Batalion “L” di Desa Kentungan. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi.

Persaingan Ideologis dan Pergolakan Sosial Politik pada Masa Demokrasi Terpimpin

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 telah mengakhiri eksperimen politik bangsa Indonesia dengan sistem Demokrasi Liberal. Pemerintah RI kemudian menggulirkan roda pemerintahan berdasarkan UUD 1945 dalam kerangka Demokrasi Terpimpim. Partai-partai politik dan beberapa tokoh politik segera menanggapi manuver pemerintah tersebut dengan sikap pro dan kontra. Dalam kondisi seperti itu, muncullah konflik-konflik antar tokoh bangsa Indonesia dan pergolakan sosial politik yang amat mempengaruhi stabilitas dan eksistensi negara RI.

Nasakom dan Sentralisasi Kekuasaan

Pada masa dekokrasi liberal, presiden tidak memiliki peran menentukan terhadap jalannya roda pemerintahan. Kekuasaan memimpin pemerintahan berada pada seorang perdana menteri. Tampaknya peran presiden hanya sebagai penasehat saja. Oleh karena itu, presiden Soekarno berkepentingan mengembalikan UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi yang memberi ruang gerak cukup besar bagi peran seorang presiden. Konstituante yang tidak berhasil merancang UUD baru telah membuka jalan bagi presiden untuk mengumandangkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Sejak berlaku kembali UUD 1945, presiden Soekarno kemudian melontarkan manuver politik dalam bentuk gagasan, yaitu doktrin Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis). Gagasan ini diciptakan untuk menggalang kerukunan nasional antar ideologi yang berbeda-beda dalam masyarakat. Sejarah panjang dalam masa Demokrari Liberal telah memperlihatkan betapa porak-porandanya negara akibat tidak adanya persatuan dan kesatuan. Menurut presiden, golongan nasionalis (PNI), agama (NU) dan Komunis (PKI) yang merupakan partai-partai terbesar di Indonesia harus menggalang persatuan dan bahu-membahu membangun bangsa.

Demi memasyarakatkan ajaran Nasakom, pemerintah menyelenggarakan pendidikan kilat kader Nasako, dari 1 – 10 Juni 1965. pendidikan ini diikuti oleh ribuan peserta dari partai politik, organisasi massa, pegawai negeri, anggota TNI dan Polri, kalangan universitas, dan pihak swasta. Melalui Nasakomisasi ini, kehidupan berbangsa dan bernegara seolah-olah buka lagi berdasarkan Pancasila, melainkan Nasakom.

Pemasyarakatan ajaran Nasakom ternyata memberi dampak semakin kuatnya kedudukan presiden di mata masyarakat. Pada saat itu ada kesan bahwa menolak Nasakom berarti menolak kepemimpinan presiden Soekarno. PKI merupakan kelompok politik terdepan yang mendukung ajaran Nasakom. Sebab selain ajaran Nasakom seolah-olah akan menggeser Pancasila, juga dalam perkembangannya presiden lebih banyak berpihak kepada kepentingan PKI. Apalagi presiden Soekarno dikenal sebagai seorang tokoh pengagum Marxisme/Leninisme, kendati ia bukan seorang penganut paham komunis. Soekarno juga mengajarkan Resopim (Revolusi, Sosialisme Indonesia dan Pimpinan Nasional) yang disampaikan pada HUT RI 17 Agustus 1961. resopim ini diarahkan untuk memperkuat kedudukan presiden dalam pemerintahan. Dalam resopim sosialisme indonesia dapat dicapai hanya melalui revolusi yang dikendalikan oleh pimpinan nasional yang disebut Pemimpin Besar Revolusi (Presiden Soekarno).

Politik Imbangan Kekuatan (Balance of Power)

Masa demokrasi liberal jalannya pemerintahan dikendalikan oleh partai dan parlemen. Sementara presiden hanya dijadikan sebagai pemimpin bangsa, keadaan ini membuat presiden dan angkatan darat tidak puas. Sehingga lahirlah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. yang mengungtungkan presiden (sentralisasi kekuasaan pemerintahan) maupun angkatan darat (menguasai perusahaan-perusahaan negara).

(tunggu halaman selanjutnya.......)


BAB IV Kelas IX - dari Penerbit Yudhistira

BAB IV

PERJUANGAN BANGSA INDONESIA MEREBUT IRIAN BARAT

Perjuangan Pengembalian Irian Barat

Salah satu kesepakatan KMB menyatakan bahwa status quo Irian Barat akan ditunda setahun sesudah pengakuan kedaulatan. Pihak Indonesia menafsirkan setahun sesudah KMB, Belanda akan menyerahkan Irian Barat. Namun Belanda memberi tafsiran bahwa masalah kedudukan Irian Barat akan diselesaikan dengan jalan perundingan. Tafsiran ini memberi petunjuk bahwa Belanda tidak akan menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia, tetapi hanya merundingkan.

Ditengah kehidupan politik yang masih belum stabil pasca kemerdekaan, hubungan Indonesia dengan Belanda kembali tegang. Belanda yang harus mengakhiri penjajahannya di Indonesia masih berusaha untuk menancapkan kekuatan kolonialismenya di wilayah Irian Barat/Papua. Padahal sesuai perundingan KMB, seharusnya dalam jangka waktu setahun pasca kemerdekaan wilayah Irian Barat harus sudah menjadi wilayah Indonesia. Sementara itu berbagai perundingan yang diusahakan Indonesia dan Belanda ternyata buntu. Belanda sengaja menjadikan masalah Irian Barat menjadi berlarut-larut. Sebenarnya seja jaman Tidore dan Majapahit wilayah Irian Barat telah masuk ke dalam kekuasaan kedua kerajaan tersebut.

Perjuangan Melalui Jalur Diplomasi

Setahun setelah Irian Barat dikuasai Belanda, pemerintah RI berusaha menyelesaikan masalah ini melalui perundingan bilateral dalam lingkungan Uni Indonesia-Belanda. Upaya penyelesaian Irian Barat ini mulai dirintis pada masa Kabinet Natsir. Pada akhir Maret 1950 pihak Indonesia dan Belanda menyelenggarakan konferensi Uni Indonesia-Belanda di Jakarta untuk membahas masalah Iriant Barat dan ketatanegaraan Indonesia. Konferensi tidak membuahkan kesepakatan mengenai penyerahan Irian Barat, dan hanya berhasil membentuk suatu Komite Bersama yang beranggotakan enam orang. Tiga dari Indonesia yaitu; Moh. Yamin, LHPS. Makaliwy dan J. Latuharhary dan tiga dari Belanda yaitu; GH Vander Kolff, R Van Dijk dan JM. Pieters. Selanjutnya pada bulan Desember 1950 diadakan kembali konferensi serupa di Den Haag, namun masih tetap berakhir tanpa menghasilkan titik temu. Setahun kemudian yaitu pada Desember 1951 diadakan lagi konferensi dengan pihak Belanda. Belanda mengajukan usul agar masalah Irian Barat dibicarakan dalam Mahkamah Internasional, tetapi pihak Indonesia menginginkan agar pembahasan Irian Barat dimasukkan dalam forum majelis umum PBB. Sesudah itu tidak ada lagi perundingan bilateral dan masalah mengenai kedudukan Irian Barat tetap terkatung-katung. Di Belanda sendiri telah terjadi perubahan pandangan atas Indonesia. Para pegawai sipil dan militer Belanda yang baru pulang ke negerinya membawa propaganda buruk atas Indonesia. Menurut mereka, selama masa revolusi, orang-orang Belanda merasakan kepahitan dan penderitaan yang hebat. Indonesia hanya pura-pura menerima semua ketentuan KMB. Buktinya kekacauan masih terjadi dimana-mana, pemogokan tak terkendali, dan bangsa Indonesia tidak bisa mengatur dirinya sendiri. Propaganda ini menimbulkan pergerakan anti Indonesia dan memaksa Belanda memperkuat kedudukannya di Irian Barat. Kegagalan usaha secara bilateral ini membuat pihak Indonesia mengubah perjuangan diplomasinya melalui forum PBB. Sejak sidang 21 September 1954 pemerintah Indonesia berturut-turut membawa masalah Irian Barat dalam forum sidang umum PBB. Persoalan ini berulang kali dimasukkan ke dalam acara sidang, tetapi tidak pernah memperoleh keputusan yang diharapkan. Penyebabnya belanda dan sekutunya selalu menjegal keinginan Indonesia itu. Sikap dukungan terhadap Belanda semakin kuat bersamaan dengan semakin meruncingnya pertentangan antara blok barat dan blok timur. Dengan demikian resolusi Irian Barat yang disponsori India dan tujuh negara lain tidak dapat dimenangkan karena tidak mencapai kuorum. Oleh karena dalam sidang tidak pernah mencapai kuorum, maka sejak 10 Desember 1954 PBB mengesampingkan masalah Irian Barat dalam sidang-sidang berikutnya yang berarti persoalan Irian Barat bukan lagi menjadi urusan PBB.

Pembahasan Irian Barat yang berlarut-larut membuka Dr. Joseph Lund untuk membangkitkan semangat pemimpin lokal Papua yang lebih berpihak pada Belanda untuk membuat pernyataan dan membentuk komite nasional yang beranggotakan 17 orang dan mengundang 70 orang Irian Barat. Tidak hanya itu Belanda juga membuat Dewan Papua dan mempersiapkan pembentukan Negara Papua. Permusuhan antara Indonesia-Belanda pun semakin terbuka, sehingga John F Kennedy bersedia menjadi penengah penyelesaian Irian Barat. Sebenarnya dibalik gagasan John F Kennedy tersebut ada upaya untuk menghindari menguatnya pengaruh Uni Soviet terhadap Indonesia yang pada waktu itu mendapat bantuan bunga rendah dari Uni Soviet (musuh utama AS).

Perjuangan Melalui Jalur Konfrontasi

Dalam upaya pembebasan Irian Barat, bangsa Indonesia juga dapat bersikap tegas. Sikap ini dilakukan akibat kegagalan diplomasi langsung dengan Belanda. Indonesia menyatakan pembubaran Uni Indonesia-Belanda pada 10 Agustus 1954. sikap konfrontasi ini diperkuat dengan pernyataan pembatalan perjanjian KMB. Melalui UU No.13 Tahun 1956 tanggal 3 Mei 1956 Indonesia menyatakan bahwa Uni Indonesia-Belanda sudah tidak ada lagi. Selanjutnya hubungan antara Indonesia dengan Belanda merupakan hubungan seperti lazimnya antara negara-negara yang berdaulat berdasarkan hukum internasional. Kepentingan Belanda di Indonesia diperlukan sesuai dengan ketentuan dan hukum yang berlaku di Indonesia. Selain itu pada 4 Agustus 1956 pemerintah RI secara sepihak menolak mengakui hutang negara sebesar 3.661 miliar gulden seperti yang ditetapkan dalam KMB. Pengingkaran pemerintah RI ini disambut hangat seluruh rakyat Indonesia. Dalam suasana anti Belanda yang semakin meningkat, pada 18 November 1957 diselenggarakan rapat umum pembebasan Irian Barat di Jakarta. Rapat ini membicarakan langkah serta tindakan yang perlu diambil guna membebaskan Irian Barat. Rapat umum pembebasan Irian Barat ditindaklanjuti dengan munculnya aksi rakyat dan beberapa tindakan pemerintah. Berikut aksi dan tindakan yang dilakukan pemerintah RI tersebut :

- Aksi mogok para buruh perusahaan-perusahaan Belanda

- Pemerintah melarang beredarnya semua terbitan dan film yang menggunakan bahasa Belanda

- Dilarangnya maskapai penerbangan belanda (KLM) mendarat dan terbang di atas wilayah RI

- Semua perwakilan konsuler Belanda di Indonesia diminta dihentikan

- Pengambilalihan perusahaan-perusahaan milik Belanda di Indonesia (nasionalisasi) seperti: Handel Maatschappij, NV, Bank Escompto, Philips, KLM dan percetakan De Unie.

Pembentukan Tri Komando Rakyat (TRIKORA)

Ketegangan antara Indonesia dengan Belanda semakin memuncak sejak 17 Agustus 1960. pada saat itu pemerintah RI secara resmi memutuskan hubungan diplomatik dengan pemerintah kerajaan Belanda. Situasi ini diperjelas dengan pidato presiden Soekarno di muka sidang Majelis Umum PBB pada 30 September 1960 dengan judul “Membangun Dunia Kembali” menyatakan: kami telah mengadakan perundingan-perundingan bilateral. Harapan lenyap, kesabaran hilang, bahkan toleransi pun mencapai batasnya. Semua itu tleh habis dan Belanda tidak memberikan alternatif lain, kecuali memperkeras sikap kami. Tindakan konfrontasi politik dan ekonomi yang dilancarkan Indonesia ternyata belum mampu memaksa Belanda menyerahkan Irian Barat. Pada 5 April 1961 Belanda malahan membentuk dewan Papua bagi rakyat Irian Barat. Tindakan ini diikuti dengan pernyataan Belanda dalam sidang majelis umum PBB bulan September 1961 yang mengumumkan berdirinya negara Papua Barat. Untuk memperjelas keberadaan negara Papua Barat, Belanda telah memperkuat kedudukan militernya dengan mendatangkan kapal induk Karel Doorman. Selain berusaha memperkuat kedudukan Belanda juga membentuk Dewan Papua, semacam badan legislatif yang tidak memiliki hak budget. Belanda juga membentuk lembaga-lembaga baru untuk mempengaruhi masyarakat Irian Barat, seperti membentuk polisi Papua, komite nasional Papua bahkan melatih pamong praja setempat yang termakan provokasi anti Indonesia. Targetnya adalah membentuk sebuah negara Papua merdeka. Menanggapi sikap Belanda tersebut, pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Tindakan Belanda dianggap Indonesia sebagai tantangan untuk bertindak lebih tegas dan cepat. Pemerintah Indonesia memutuskan untuk melancarkan konfrontasi militer terhadap Belanda. Pada 19 Desember 1961 presiden Soekarno mengumandangkan Tri Komando Rakyat (TRIKORA) dalam rapat raksasa di alun-alun utara Yogyakarta. Isi Trikora adalah sebagai berikut:

- Gagalkan pembentukan Negara Papua buatan pemerintah kolonial Belanda.

- Kibarkan sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia

- Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa

Untuk mewujudkan Trikora pada 2 Januari 1962 pemerintah membentuk Komando Mandala pembebasan Irian Barat yang dipimpin oleh Mayjen Soeharto. Komando yang berkedudukan di Makasar ini mempunyai tujuan sebagai berikut:

- Merencanakan, menyiapkan dan melaksanakan operasi militer untuk mengembalikan Irian Barat ke dalam kekuasaan RI

- Mengembangkan situasi militer di wilayah Irian Barat sesuai dengan perkembangan perjuangan di bidang diplomasi supaya dalam waktu singkat diciptakan daerah-daerah bebas de fakto atau unsur kekuasaan RI di wilayah Irian Barat

Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, Komando Mandala merencanakan operasi pembebasan Irian Barat dalam tiga tahap yaitu: 1. Tahap Infiltrasi yang dilaksanakan sampai tahun 1962, tahap ini dilakukan penyusupan pasukan ke daerah tertentu guna menciptakan daerah bebas de facto: 2. Tahap Eksploitasi mulai tahun 1963 merupakan serangan terbuka terhadap kapal induk militer lawan dan menduduki semua pos penting yang menjadi pertahanan musuh: 3. Tahap Konsolidasi dimulai tahun 1964 merupakan penegakan kekuasaan RI secara mutlak di seluruh Irian Barat.

Sebelum Komando Mandala bekerja aktif, unsur militer dalam Motor Torpedo Boat (MTB) telah melakukan penyusupan ke Irian Barat. Akan tetapi mata-mata Belanda mengetahuinya sehingga pada 15 Januari 1962 pecah pertempuran di Laut Arafuru. Dalam pertempuran ini, kapal MTB Macan Tutul berhasil ditenggelamkan Belanda. Yos Sudarso gugur dalam peristiwa tersebut sehingga ia terkenal dengan pahlawan Trikora.

Pada bulan Maret-Agustus 1962, Komando Mandala melakukan serangkaian operasi pendaratan melalui laut dan penerjunan dari udara ke Irian Barat. Operasi infiltrasi ini berhasil mendaratkan pasukan TNI dan para sukarelawan di berbagai tempat, seperti Fakfak, Kaimana, Sorong, Teminabuan dan Merauke. Adapun serangan terbuka yang bertujuan menguasai wilayah strategis Biak dan Jayapura akan dilakukan melalui operasi Jayawijaya.

Kembalinya Irian Barat kedalam Wilayah NKRI

Kesungguhan Indonesia memperjuangkan kembalinya Irian Barat, ternyata sangat efektif untuk menarik perhatian dunia. Sekjen PBB U Thant mengutus diplomat Amerika, Elsworth Bunker untuk menengahi perselisihan Indonesia dan Belanda. Bunker kemudian mengajukan usul perdamaian yang dituangkan dalan Bunker Proposal (rencana Bunker) pada bulan Maret 1962 yang berisi:

- Belanda harus menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia melalui suatu badan pemerintahan PBB

- Sesudah sekian tahun dibawah pemerintahan RI, rakyat Irian Barat diberi kesempatan untuk menentukan pendapatnya

Rencana Bunker ini diterima baik oleh Indonesia dan Belanda, sebelumnya Belanda tidak bersedia menerima rencana ini, tetapi Amerika mendesaknya dengan alasan takut hancurnya Belanda. Melalui mata-mata Amerika diketahui bahwa kemungkinan Rusia akan terlibat dalam pertikaian Indonesia-Belanda. Mereka pun melihat dari udara bagaimana besarnya kekuatan yang telah dipersiapkan pemerintah RI untuk menghadapi Belanda di Irian Barat. Akhirnya pada 15 Agustus 1962 Indonesia dan Belanda berunding di Markas Besar PBB dan menyepakati New York Agreement (Persetujuan New York) yang antara lain berisi:

- Belanda akan menyerahkan Irian Barat kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) atau pemerintahan sementara PBB paling lambat 1 Oktober 1962

- Pasukan Indonesia yang telah berada di Irian Barat berada di bawah UNTEA, sedangkan pasukan Belanda secara berangsur-angsur dipulangkan

- Bendera Indonesia mulai dikibarkan disamping bendera PBB sejak 31 Desember 1962

- Pemerintah Ri secara resmi akan menerima pemerintahan atas Irian Barat dari UNTEA selambat-lambatnya pada 1 Me1 1963

- Pemerintah RI wajib menyelenggarakan penentuan pendapat rakyat (Pepera) paling lambat akhir tahun 1969

Sesuai dengan persetujuan New York, pada I Mei 1963 berlangsung upacara serah terima Irian Barat dari UNTEA kepada pemerintah RI. Upacara tersebut berlangsung di Hollandia (Jayapura). Dalam peristiwa itu, bendera PBB diturunkan dan berkibarlah sang Merah Putih yang menandai resminya Irian Barat menjadi provinsi RI ke 26, nama Irian Barat kemudian diubah menjadi Irian Jaya. Selanjutnya sejak 24 Maret sampai 4 Agustus 1969 diselenggarakan penentuan pendapat rakyat (Pepera) bagi pendudk Irian Jaya. Mereka diberi opsi bersatu dengan RI atau membentuk negara sendiri. Setelah pepera dilaksanakan dewan musyawarah pepera mengumumkan bahwa rakyat Irian Jaya dengan suara bulat memutuskan tetap menjadi bagian dari RI. Hasil pepera ini dibawa duta besar Ortis Sanz untuk dilaporkan dalam sidang umum PBB ke-24 bulan November 1969. sejak saat itu secara de jure Irian Jaya sah menjadi bagian dari wilayah RI.

BAB III Kelas IX - dari Penerbit Yudhistira

BAB III

PERISTIWA-PERISTIWA POLITIK DAN EKONOMI INDONESIA PASCA PENGAKUAN KEDAULATAN

PERISTIWA-PERISTIWA POLITIK INDONESIA PASCA PENGAKUAN KEDAULATAN

Karena didesak Dewan Keamanan PBB, Belanda bersedia mengadakan perundingan Renvile dengan Indonesia dan dilanjutkan dengan perundingan KMB di Den Haag Belanda 1949 berhasil mengakhiri pertikaian Indonesia-Belanda dengan pengakuan kedaulatan kepada Indonesia. Pada 2 November 1949 di Den Haag terbentuklah negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri dari 16 negara bagian dan sebagai presidennya adalah Soekarno dan Moh. Hatta diangkat sebagai Perdama Menteri.

Proses Kembalinya Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan

Secara resmi Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949 dengan bentuk negara RIS. Ternyata sebagian besar rakyat Indonesia tidak menyukai bentuk negara RIS dan menghendaki Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

a. Terbentuknya Negara Federasi RIS

14 Desember 1949 wakil-wakil pemerintah RI dan negara-negara bagian melakukan pertemuan musyawarah federal di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Pertemuan tersebut berhasil menyetujui Undang-undang Dasar RIS. Berdasarkan UUD RIS negara federasi RIS terdiri atas tujuh negara bagian (RI, NIT, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatra Timur-NST, Negara Sumatra Selatan), sembilan satuan kenegaraan (Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Dayak Besar, Banjar, Kalimantan Tenggara, Bangka, Biliton-Belitung, Riau Kepulauan, Jawa Tengah) dan tiga daerah swapraja (Waringin, Sabang, Padang). Selengkapnya negara-negara tersebut adalah sebagai berikut:

- Republik Indonesia

RI berdiri 17 Agustus 1945, sebagai presiden dan wakil presidennya adalah Soekarno dan Moh. Hatta. Pusat pemerintahan semula di Jakarta, tapi karena ada kekacauan yang ditimbulkan oleh Sekutu dan NICA, maka dipindah ke Yogyakarta. Dalam perjanjian Linggarjati secara de facto RI hanya terdiri dari Sumatra, Jawa dan Madura, bahkan semakin mengecil setelah perjanjian Renvile. Bahkan setelah KMB RI hanya merupakan salah satu negara bagian dari RIS yang kepemimpinannya dijabat oleh Mr. Asaat (mantan ketua KNIP).

- Negara Pasundan

Diproklamasikan oleh Soeria Kartalegawa (Ketua Partai Rakyat Pasundan) pada 4 Mei 1947 di Bandung, namun baru resmi terbentuk pada 5 Maret 1948 dengan wali negaranya RAA. Wiranatakusumah.

- Negara Indonesia Timur (NIT)

NIT merupakan negara pertama yang dibentuk Van Mook dalam konferensi Denpasar pada 18-24 Desember 1946, wilayah NIT meliputi Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku dengan presidennya adalah Cokorde Gde Raka Sukawati.

- Negara Madura

Dibentuk 23 Januari 1948 atas prakarsa Van Der Plas (tokoh Belanda yang pandai bahasa Madura dan ahli agama islam) sebagai wali negaranya adalah RAA. Cakraningrat.

- Negara Sumatra Timur

Berdiri berdasarkan surat keputusan Van Mook pada 24 Maret 1948, wilayahnya meliputi Medan, Asahan Selatan, Labuhan Batu dan sekitarnya dengan wali negaranya adalah Dr. Tengku Mansyur.

- Negara Sumatra Selatan (NSS)

Oleh Van Mook disetujui pada 30 Agustus 1948 dengan negaranya adalah Abdul Malik. Wilayah NSS meliputi Palembang dan sekitarnya

- Negara Jawa Timur

Melalui konferensi di Bondowoso (16 November 1948) Van Der Plas mendirikan Negara Jawa Timur, tapi secara resmi berdiri 26 November 1948 dengan wilayah meliputi Surabaya, Malang, daerah sebelah timur sampai Banyuwangi dengan wali negaranya adalah RTP. Achmad Kusumonegoro.

- Daerah Istimewa Kalimantan Barat (Borneo)

Berdiri pada 12 Mei 1947 dan disetujui oleh Van Mook, dengan kepala daerahnya adalah Sultan Hamid Algadrie II.

- Federasi Kalimantan Timur

Berdiri sejak Februari 1948, Tenggarong termasuk didalamnya.

- Daerah Otonom Dayak Besar

Dibentuk pada Desember 1946 dan baru memiliki konstitusi sejak Desember 1948, wilayahnya adalah daerah Kalimantan Tengah sekarang.

- Daerah Otonom Banjar

Terlahir sejak Januari 1948 dan meliputi Kalimantan Selatan sekarang.

- Dewan Federal Borneo Tenggara (DFBT)

Disetujui oleh Van Mook pada 9 Mei 1947, wilayahnya meliputi Pulau Laut dan Kalimantan Tenggara, Pegatan, Cantung Sampanahan.

- Daerah Otonom Bangka, Biliton (Belitung) dan Riau Kepulauan

Diciptakan oleh Van Mook pada bulan Januari 1947 dan pada bulan Juni 1948 ketiganya bergabung menjadi federasi.

- Daerah Otonom Jawa Tengah

Dibentuk pada bulan Maret 1949 sesudah agresi militer Belanda II. Wilayah Jawa Tengah meliputi sebagian Banyumas, Pekalongan dan Semarang.

b. Munculnya Gerakan Separatis

Sebagian masyarakat tidak mendukung terbentuknya RIS (kelompok unitaris) dan sebagian lagi mendukung terbentuknya negara federal (kelompok federalis). Kelompok unitaris banyak terdapat di negara Pasundan dan negara Jawa Timur, mereka menghendaki negara yang sesuai dengan UUD 1945 dan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945. Kelompok federalis mulai melemah setelah beberapa tokohnya berkhianat terhadap RIS yaitu Sultan Hamid II yang bersekongkol dengan Raymond Westerling membantai rakyat di Sulawesi Selatan, membunuh tentara republik di Bandung dan merencanakan pembunuhan terhadap sejumlah petinggi RIS di Jakarta. Kelompok ini menamakan diri Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang ingin tetap mempertahankan negara Pasundan.

Di Sulawesi Selatan kapten Andi Azis menyerang markas TNI di Makasar dan sejak 5 April 1950 Andi Azis menyatakan mempertahankan NIT. Di Maluku Selatan muncul gerakan separatis RMS di bawah pimpinan Dr. Soumokil pada 25 April 1950.

c. Perjuangan Kembali ke Negara Kesatuan

RI, BFO dan Belanda menyepakati terbentuknya RIS, negara RIS yang berbentuk federasi ini pada hakikatnya tidak sesuai dengan cita-cita proklamasi. Belanda mendirikan RIS dengan maksud untuk mempermudah memecah belah bangsa Indonesia. Belanda tetap berkeinginan bahwa pada suatu saat mereka akan datang lagi untuk menguasai Indonesia. Rakyat Indonesia menyadari bahwa RIS adalah bentukan Belanda dan bukan keinginan rakyat negara-negara bagian (apalagi tidak memiliki tujuan yang jelas, tidak memiliki ideologi yang kuat, tidak memiliki tentara, kekuasaan dll). Pada awal Februari 1950 rakyat Jawa Barat, Jawa Timur dan negara-negara bagian lainnya menuntut pembubaran negara-negara bagian. Menanggapi situasi politik tersebut pada 8 Maret 1950 pemerintah RIS mengeluarkan UU darurat No.11 tahun 1950 tentang tata cara perubahan susunan kenegaraan RIS. Hingga pada 5 April 1950 terdapat tiga negara bagian yaitu RI, NST dan NIT, negara yang lainnya bergabung dengan RI di Yogyakarta.

19 Mei 1950 dilangsungkan perundingan antara pemerintah RIS (Moh. Hatta-wakil dari NST dan NIT) dengan pemerintah RI yang diwakili oleh Abdul Halim. Perundingan tersebut menghasilkan persetujuan: RIS dan RI sepakat membentuk negara kesatuan berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945 dan RI dan RI akan membentuk panitia bersama yang bertugas menyusun undang-undang dasar negara kesatuan. Untuk menyusun konstitusi negara kesatuan yang baru maka dibentuklah panitia gabungan RIS dan RI dengan ketua bersama, menteri kehakiman Prof. Dr. Mr. Soepomo dan wakil perdana menteri RI Abdul Halim.

Pada 14 Agustus 1950 parlemen RI dan senat RIS mengesahkan UUD NKRI (UUD Sementara 1950). NKRI resmi berlaku sejak 17 Agustus 1950, secara otomatis RIS bubar.

Persoalan Hubungan Pusat dan Daerah Pasca Pembentukan NKRI

Persoalan pertentangan antara pemerintah pusat dengan daerah, baik yang berupa pertentangan ideologi antar partai maupun antar kepentingan, pergolakan sosial-politik ini terjadi pada kurun waktu 1950-1965. Ditengah-tengah memburuknya keadaan pemerintahan akibat pemberontakan di daerah, presiden Soekarno melontarkan suatu gagasan “Konsepsi Presiden” pada 21 Februari 1957 di Istana Merdeka yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi dan kinerja pemerintahan. Isi Konsepsi Presiden tersebut adalah:

- Sistem demokrasi parlementer model barat tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia dan harus diganti dengan sistem demokrasi terpimpin.

- Untuk melaksanakan demokrasi terpimpin perlu dibentuk kabinet gotong royong yang beranggotakan wakil-wakil semua partai dan organisasi berdasarkan perimbangan kekuatan yang ada dalam masyarakat.

- Dibentuk dewan nasional yang terdiri dari wakil-wakil golongan fungsional dalam masyarakat, dewan ini bertugas memberi nasehat kepada kabinet.

Pertentangan antara pusat dan daerah tersebut mengakibatkan munculnya berbagai pembrontakan antara lain:

a. Peristiwa PRRI di Sumatra

Muncul setelah ada reuni mantan divisi banteng di Padang pada 20-25 November 1956. pertemuan ini melahirkan kesepakatan bahwa otonomi daerah yang seluas-luasnya untuk menggali potensi daerah dan kekayaan daerah guna memenuhi pembangunan dan disepakati pembentukan Dewan Banteng yang diketuai oleh Achmad Husein (komandan Resimen IV dan Teritorium I di Padang).

Sejak 9 Desember 1956 Kasad mengeluarkan pengumuman yang melarang perwira-perwira angatan darat melakukan kegiatan politik. Larangan tersebut tidak diindahkan bahkan Achmad Husein mengambil alih kekuasaan gubernur Ruslan Muljohardjo pada 20 Desember 1956. Selain dewan Banteng, muncul pula dewan-dewan lain di daerah lain seperti:

- Dewan Gajah di Sumatera Utara (Kolonel Maludin Simbolon)

- Dewan Garuda di Sumatera Selatan (Letkol Barlian)

- Dewan Manguni di Sulawesi Utara (Letkol Ventje Sumual)

Pemerintah pusat berusaha menyelesaikan perselisihan pusat-daerah melalui cara musyawarah. Pada bulan Maret 1957 diadakan konferensi Panglima Tentara dan Teritorium seluruh Indonesia untuk menyelesaikan masalah pusat-daerah. Kemudian diselenggarakan Munas (musyawarah nasional) pada bulan September 1957 dan Munap (musyawarah nasional pembangunan) pada bulan November 1957 yang bertujuan mempersiapkan usaha pembangunan di daerah-daerah secara integral.

9 Januari 1958 diselenggarakan pertemuan yang membicarakan pembentukan pemerintahan baru di Sungai Dareh, Sumtera Barat, pertemuan ini dihadiri oleh pimpinan dewan-dewan dan tokoh-tokoh sipil seperti Syarif Usman, Burhanudin Harahap dan Syafruddin Prawiranegara. Keesokan harinya Letkol Achmad Husein mengeluarkan ultimatun kepada pemerintah pusat agar kabinet Djuanda menyerahkan mandat kepada presiden dalam waktu 5 x 24 jam dan presiden diminta untuk kembali kepada kedudukan sebagai presiden yang konstitusional. Ultimatum ini ditolak oleh pemerintah bahkan Letkol Achmad Husein di pecat dari Angkatan Darat. Achmad Husein kemudian mengumumkan berdirinya pemerintah revolusioner republik Indonesia (PRRI) di Padang pada 15 Februari 1958 dengan perdama menterinya Syarifudin Prawiranegara.

Untuk menumpas gerakan separatis PRRI pemerintah melakukan operasi militer antara lain:

- Operasi Tegas (Letkol Kaharudin Nasution) untuk mengamankan Riau

- Operasi 17 Agustus (Kol Ahmad Yani) untuk mengamankan Sumatera Barat

- Operasi Saptamarga (Brigjen Djatikukumo) untuk mengamankan Sumatera Utara

- Operasi Sadar (Letkol Ibnu Sutowo) untuk mengamankan Sumatera Selatan

Dalam waktu singkat operasi gabungan ini dapat menumpas PRRI, Achmad Husein beserta pasukannya menyerahkan diri pada 29 Mei 1961.

a. Peristiwa Permesta di Sulawesi

Di Makasar panglima tentara dan teritorium III Letkol Ventje Sumual memproklamasikan berdirinya Piagam Perjuangan Semesta (Permesta) pada 2 Maret 1957 yang meliputi wilayah Sulawesi, Kep. Nusa Tenggara dan Maluku.

DJ. Somba (komando daerah militer Sulawesi Utara dan tengah) mengeluarkan pernyataan bahwa sejak 17 Februari 1958 Sulawesi Utara dan Tenggara memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat dan mendukung PRRI. Pemerintah segera bersikap tegas untuk menumpas Permesta dengan melancarkan operasi gabungan yaitu Operasi Merdeka (dipimpin Letkol Rukmito Hendraningrat). Operasi ini terdiri dari beberapa bagian antara lain:

- Operasi Saptamarga I (Letkol Soemarsono) untuk mengamankan Sulawesi Utara bagian tengah

- Operasi Saptamarga II (Letkol Agus Prasmono) untuk mengamankan Sulawesi Utara bagian selatan

- Operasi Saptamarga III (Letkol Magenda) untuk mengamankan Kepulauan sebelah utara Manado

- Operasi Saptamarga IV (Letkol Rukmito Hendraningrat) untuk mengamankan Sulawesi Utara

- Operasi Mena I (Letkol Pieters) untuk mengamankan Jailolo

- Operasi Mena II (Letkol KKO Hunholz) untuk merebut lapangan udara Morotai di sebelah utara Halmahera

Operasi militer APRI di Indonesia bagian timur merupakan operasi yang terberat karena kondisi geografis yang sangat menguntungkan permesta dan pemberontak memiliki persenjataan yang modern berupa pesawat pembon B-26 dan pemburu Mustang yang diduga merupakan bantuan Amerika Serikat, hal ini terbukti dengan ditembak pesawat yang dipiloti Allan Pope (orang Amerika Serikat).

a. Peristiwa APRA di Bandung

Adanya tuntutan dari mantan anggota tentara KNIL yang dibubarkan untuk tetap menjadi angkatan peran negara bagian dan keengganan TNI bergabung dengan KNIL merupakan salah satu penyebab munculnya pemberontakan APRA. Di Bandung bekas anggota KNIL yang tidak mau bergabung dengan APRIS membentuk organisasi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin oleh Raymond Westerling. APRA menuntut kepada pemerintah RIS agar organisasinya diakui sebagai tentara Pasundan dan menolak dibubarkannya negara Pasundan. Tuntutan APRA tidak dihiraukan oleh pemerintah, maka pada 23 Januari 1950 APRA melancarkan serangan terhadapa kota Bandung. Mereka membunuh anggota TNI yang dijumpai dan berhasil menduduki markas staf Divisi Siliwangi setelah membunuh 15 orang regu jaga diantaranya adalah Letkol Lembong. Penyerbuan APRA tidak diduga sebelumnya sehingga gerombolan in berhasil menguasai kota Bandung. Apalagi pada waktu yang bersamaan kesatuan divisi siliwangi baru beberapa saat memasuki kota Bandung setelah melakukan Long March dari Yogyakarta. Demikian juga panglima divisi siliwangi kolonel Sadikin yang sedang mengadakan peninjauan ke Subang bersama Gubernur Jawa Barat Sewaka.

Untuk menanggulangi APRA, pemerintah RIS segera mengirimkan kesatuan-kesatuan polisi Jawa Tengah dan Jawa Timur yang ketika itu di berada Jakarta untuk ke Bandung. R Westeling berhasil meloloskan diri dari pasukan TNI dan melanjutkan makarnya di Jakarta untuk menangkap semua menteri RIS dan pejabat penting lainnya. Berkat kesigapan TNI gerakan Westerling dapat digagalkan.

b. Peristiwa Andi Azis di Makasar

Pada 5 April 1950 terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh bekas tentara KNIL dipimpin oleh Andi Azis. Alasan pemberontakan yang dilakukan Andi Azis adalah tidak mau menerima kehadiran 900 pasukan APRIS yang berasal dari TNI pimpinan Letkol Mokoginta dan ingin mempertahankan Negara Indonesia Timur (NIT). Dalam pemberontakannya Andi Azis menuntut agar tentara bekas KNIL diberi kekuasaan untuk bertanggung jawab atas keamanan di wilayah NIT. Ultimatum dari pemerintah pusat agar Andi Azis bertanggung jawab atas perbuatannya tidak diindahkan sehingga dalam waktu 4 x 24 jam pemerintah mengirim pasukan di bawah pimpinan Alex Kawilarang untuk menumpas pemberontakan Andi Azis. Hasilnya pada 15 April 1950 Andi Azis menyerahkan diri.

c. Peristiwa RMS di Maluku

Didirikan oleh Dr. Soumokil (bekas Jaksa Agung NIT) pada 25 April 1950, gerakan ini tidak menginginkan Indonesia kembali ke negara kesatuan dan tidak menyetujui penggabungan KNIL ke dalam APRIS. Bekerjasama dengan Andi Azis di Makasar tentara KNIL melakukan intimidasi dan teror terhadap rakyat di Ambon. Pemerintah RIS berupaya menyelesaikan persoalan RMS dengan cara damai yang dipimpin oleh Dr. J. Leimena, akan tetapi usaha ini tidak berhasil sehingga dikirimlah pasukan yang dipimpin oleh Alex Kawilarang untuk meredam pemberontakan RMS pada 14 Juli 1950. Pada saat berupaya menguasai Ambon, pasukan APRIS dibagi menjadi 3 kelompok dengan pimpinan Mayor Achmad Wiranatakusumah, Letkol Slamet Riyadi dan Mayor Suryo Subandrio yang mendarat di Ambon pada 28 September 1950. Pertempuran terjadi dengan RMS yang bertahan di Benteng Nieuw Victoria dan berhasil menangkap Dr. Soumokil pada 12 Desember 1963 dan dijatuhi hukuman mati.

Pergantian Antar Kabinet yang Cepat dalam Sistem Kabinet Parlementer

Sejak RIS bubar, Indonesia berbentuk NKRI dengan berpedoman UUDS 1950 dan menganut demokrasi liberal. Dalam sistem demokrasi liberal berlaku sistem kabinet parlementer dengan ciri-ciri:

- Kedudukan kepala negara tidak dapat diganggu gugat

- Kabinet dipimpin perdana menteri yang bertanggung jawab pada parlemen

- Susunan anggota dan program kabinet didasarkan dengan suara terbanyak dalam parlemen

- Masa jabatan kabinet tidak ditentukan dengan pasti

- Kabinet dapat dijatuhkan pada setiap waktu oleh parlemen dan pemerintah juga dapat membubarkan parlemen

Pada masa demokrasi liberal telah terjadi pergantian kabinet sebanyak 7 kali. Tiap-tiap kabinet tidak dapat berumur panjang rata-rata hanya berumur 1 tahun, padahal idealnya pergantian 7 kali kabinet minimal akan menghabiskan waktu selama 35 tahun, jadi tidak mengherankan apabila program-program setiap kabinet tidak sempat dilaksanakan. Berikut kabinet yang pernah berkuasa di Indonesia pada masa demokrasi liberal:

a. Kabinet Natsir (6 Oktober 1950 - 21 Maret 1951)

Kabinet ini merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi dan dilantik presiden pada 6 September 1950 dengan perdana menterinya Muhammad Natsir. Kabinet ini memiliki formasi yang kuat karena didukung para tokoh yang mempunyai keahlian dibidangnya seperti: Sultan Hamengkubuwono IX, Mr. Asaat, Ir. Djuanda dan Dr. Soemitro Djojohadikusumo.

Program kabinet Natsir antara lain:

- Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman

- Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan

- Menyempurnakan organisasi angkatan perang

- Mengembangkan dan memperkuat kekuatan ekonomi rakyat

- Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat

Kabinet Natsir merintis perundingan bilateral masalah Irian Barat dengan Belanda. Namun perundingan ini menemui jalan buntu sehingga dimanfaatkan partai oposisi PNI dengan mengajukan mosi (kepercayaan) tidak percaya, selain masalah Irian Barat mosi tidak percaya juga muncul terhadap persoalan pembentukan DPRD yang dianggap menguntungkan Masyumi. Mosi ini diajukan PNI pada 22 Januari 1951 dan dimenangkan oleh PNI, sehingga kabinet Natsir menyerahkan mandatnya kepada presiden pada 21 Maret 1951

a. Kabinet Sukiman-Suwiryo (21 April 1951 - 23 Februari 1952) – 10 bulan

Pada 27 April 1951 dibentuklah kabinet baru yang merupakan koalisi partai PNI dan Masyumi dengan dipimpin oleh Dr. Sukiman Wirjosandjojo (Masyumi) dan Suwiryo (PNI).

Program kabinet Sukiman-Suwiryo antara lain:

- Menjalankan tindakan tegas sebagai negara hukum guna menjamin negara hukum guna menjamin keamanan dan ketentraman

- Mengusahakan kemakmuran rakyat secepat-cepatnya

- Mempercepat persiapan pemilihan umum

- Menjalankan politik luar negeri bebas aktif dan secepat-cepatnya memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI

Kabinet Sukiman-Suwiryo tidak berusia lama karena mendapat tentangan dari partai koalisinya dan sejak 23 Februari 1952 kabinet ini demisioner. Penyebab jatuhnya kabinet ini adalah karena ditandatanganinya bantuan ekonomi, teknik dan persenjataan dari Amerika Serikat atas dasar Mutual Security Act (MSA), ditafsirkan Indonesia telah memasuki blok barat dan bertentangan politik luar negeri bebas aktif.

a. Kabinet Wilopo (3 April 1952 - 3 Juni 1953) – 14 bulan

Muncul gagasan untuk membentuk zaken kabinet (kabinet yang didukung menteri yang memiliki keahlian dibidangnya) dengan menunjuk Wilopo (PNI) sebagai perdana menterinya.

Program Kabinet Wilopo antara lain:

- Melaksanakan Pemilu secepatnya

- Memajukan taraf hidup rakyat dan keamanan dalam negeri

- Memperjuangkan pengembalian Irian Barat dan melaksanakan politik luar negeri bebas aktif menuju perdamaian dunia

Semasa kabinet ini berkuasa timbul separatisme dan terjadinya peristiwa Tanjung Morawa (Sumatera Utara) yang ditunggangi PKI, sehingga parlemen bereaksi keras dan mengajukan mosi tidak percaya.

a. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (31 Juli 1953 - 24 Juli 1955) – 2 tahun

Dengan dukungan dari PNI dan NU, Mr. Ali Sastroamidjojo ditunjuk menjadi perdana menteri.

Program kabinet Ali Sastroamidjojo I antara lain:

- Keamanan, pemilu, kemakmuran, keuangan, organisasi negara, perburuhan, dan perundang-undangan

- Pengembalian Irian Barat

- Politik luar negeri bebas aktif

Pada masa ini muncul gerakan DI/TII di Jawa Barat, Aceh dan Sulawesi Selatan serta beberapa gerakan perlawanan di daerah. Kabinet Ali Sastroamidjojo I berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA). Penyebab jatuhnya kabinet Ali Sastroamidjojo I adalah mosi tidak percaya menyangkut pergantian pimpinan di AD, kabinet Ali Sastroamidjojo I dianggap tidak mampu menyelesaikan pertentangan pendapat antara pemerintah dengan TNI-AD.

e. Kabinet Burhanudin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956) – 7 bulan

Kabinet ini merupakan kabinet koalisi dengan Masyumi sebagai partai inti.

Program kabinet Burhanudin Harahap antara lain:

- Mengembalikan kewibawaan pemerintah dengan memupuk kepercayaan Angkatan Darat

- Pemilu, Desentralisasi, Mengatasi inflasi, Pemberantasan korupsi, Perjuangan Irian Barat

- Memajukan kerjasama Asia-Afrika atas dasar politik bebas aktif

Keberhasilan kabinet Burhanudin Harahap adalah suksesnya penyelenggaraan pemilu I dan pengangkatan Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) yaitu Abdul Haris Nasution. Kabinet ini jatuh karena dianggap telah menyelesaikan tugas menyelenggarakan pemilu I.

f. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956 – 14 Maret 1957) – 1 tahun

Kabinet Ali Sastroamidjojo II merupakan kabinet koalisi antara PNI, Masyumi dan NU.

Program kabinet Ali Sastroamidjojo II antara lain:

- Merencanakan dan melaksanakan pembangunan 5 tahun

- Mengembalikan Irian Barat ke pangkuan RI

- Melaksanakan politik luar negeri bebas aktif

Pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo II ternyata di daerah banyak terjadi gerakan separatis seperti: munculnya Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Garuda, Dewan Lambung Mangkurat (Kalsel) dan Dewan Manguni (Sulut). Sehingga melemahkan kabinet.

g. Kabinet Djuanda (9 April 1957 – 10 Juli 1959) – 26 bulan

Dengan menyusun program kerja yang disebut Pancakarya kabinet ini memprogramkan:

- Membentuk dewan nasional

- Normalisasi keadaan republik

- Melancarkan pelaksanaan pembatalan KMB

- Perjuangan Irian Barat

- Mempergiat pembangunan

Dewan nasional berfungsi sebagai dewan penasihat kabinet untuk memperlancar roda pemerintahan dan menjaga stabilitas politik untuk mendukung pembangunan negara. Dewan ini beranggotakan 45 orang dengan ketua adalah Ir. Soekarno. Tetapi kondisi negara semakin memburuk, terutama disebabkan oleh pemberontakan yang terjadi di daerah-daerah. Oleh karena itu pada 10-14 September 1957 diselenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) di Gedung Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Munas berhasil mengambil keputusan yang intinya adalah saling pengertian untuk tetap membina persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia. Namun upaya pemerintah ini dalam kenyataannya tidak berjalan mulus, pada 30 November 1957 terjadi percobaan pembunuhan terhadap presiden Soekarno yang terkenal dengan Peristiwa Cikini.

Pada masa demokrasi liberal pergantian kabinet berlangsung terlalu cepat. Tokoh-tokoh politik saling berebut kursi “politik dagang sapi”, sehingga berdampak pada:

- Setiap kabinet hampir tidak sempat menjalankan program yang direncanakan

- Kepercayaan rakyat terhadap pemerintah semakin pudar

- Kondisi negara menjadi tidak stabil karena pergolakan sosial politik diberbagai daerah belum tertangani

2. Terselenggaranya Pemilihan Umum 1955

a. Partai-partai Peserta Pemilu Pertama

Partai politik adalah kelompok terorganisir yang mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama untuk memperoleh, merebut dan mempertahankan kekuasaan secara konstitusional. Masa pergerakan nasional mahasiswa memiliki andil besar dalam upaya melahirkan partai-partai politik, apalagi setelah kelahiran Budi Utomo 1908 banyak partai yang bermunculan, seperti SI (Sarekat Islam), IP (Indische Partij) dsb.

Partai-partai pada masa pergerakan nasional dari segi perjuanganya dapat dibedakan menjadi 2 macam:

- Partai-partai radikal (non kooperatif) seperti SI, PNI, Perhimpunan Indonesia (PI), Indische Partij (IP), dan PKI. Partai-partai ini tidak mau bekerjasama dengan pemerintah Belanda dengan tidak mau duduk daalam Dewan Rakyat (Volksraad) bentukan Belanda.

- Partai-partai moderat (kooperatif) seperti Budi Utomo, Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), Partai Indonesia Raya (Parindra), Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), dan Gabungan Politik Indonesia (Gapi).

Sedangkan bila dilihat aspek orientasinya dapat dibedakan dalam hal ekonomi (Sarekat Dagang Islam/SDI), agama (Sarekat Islam, PSII), nasionalis (Budi Utomo, PNI, PBI, Parindra, IP, Partindo, Gapi) dan sosialis (ISDV dan PKI).

Partai-partai politik yang eksis pada masa radikal, gerak langkah perjuanganya selalu mendapat pengawasan dari pemerintah Hindia Belanda melalui Politiek Inlichtingen Dienst (PID) sebagai dinas rahasia yang bekerja menindas kaum pergerakan. Keberadaan partai politik ketika itu amat diperlukan sebagai wadah perjuangan rakyat untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.

Pada masa pendudukan Jepang partai-partai politik dilarang berdiri. Semua kegiatan banyak diarahkan pada upaya memenangkan Perang Asia Timur Raya. Hanya organisasi sosial keagamaan yang mendapat kesempatan berdiri yaitu MIAI yang kelak berubah menjadi Masyumi. Izin yang diberikan Jepang terhadap MIAI berkaitan dengan upaya menarik simpati masyarakat islam agar membantu proyek perang Jepang.

Setelah kemerdekaan pemerintah RI memerlukan adanya DPR/MPR sebagai cerminan wakil rakyat yang sesuai dengan amanat UUD 1945. keberadaan DPR/MPR tidak terlepas dari kebutuhan perangkat partai politik. Pada gilirannya tiap partai politik tersebut akan berebut kursi untuk duduk di lembaga legislatif. Pemerintah mengeluarkan maklumat pemerintah 3 November 1945 yang intinya menyatakan pemerintah menghargai timbulnya partai-partai politik untuk menyalurkan aliran dan paham yang ada dalam masyarakat. Sejak saat itu lahirlah partai-partai politik yang hidup dengan partai-partai lama. Adapun partai-partai politik tersebut adalah:

- Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dipimpin oleh dr. Sukiman sejak 7 November 1945

- Partai Komunis Indonesia (PKI) dipimpin oleh Moh. Jusuf sejak 7 November 1945

- Partai Buruh Indonesia (PBI) dipimpin oleh Nyono didirikan sejak 8 November 1945

- Partai Rakyat Jelata dipimpin oleh Sutan Dewanis didirikan sejak 8 November 1945

- Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dipimpin oleh Probowinoto didirikan 10 November 1945

- Partai Sosialis Indonesia (PSI) dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin didirikan 10 November 1945

- Partai Rakyat Sosialis (PRS) dipimpin oleh Sutan Syahrir didirikan 20 November 1945

- Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI) dipimpin oleh I.J Kasimo didirikan 8 November 1945

- Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) dipimpin oleh JB. Assa didirikan 17 Desember 1945

- Partai Nasional Indonesia (PNI) dipimpin oleh Didik Joyosukarto sejak 29 Januari 1946

b. Penyelenggaraan Pemilihan Umum Pertama RI

Sejak kembali ke NKRI sebagian partai-partai politik yang ada tidak bekerja sebagai penyalur aspirasi rakyat. Mereka hanya memperjuangkan kepentigan golongan atau pribadi. Rakyat Indonesia menjadi frustasi melihat kepincangan politik, sehingga rakyat menuntut segera diadakan pemilihan umum.

Persiapan pemilu mulai dirintis semasa kabinet Ali I dan pelaksanaannya dilakukan pada masa kabinet Burhanudin Harahap. Pemilu pertama berlangsung 2 tahap yaitu:

- Tahap pertama pada 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR

- Tahap kedua pada 15 Desember 1955 untuk memilih anggota dewan konstituante (badan pembuat undang-undang dasar)

Dari 28 kontestan, pemilu pertama Indonesia memunculkan empat partai besar yaitu: Masyumi, PNI, NU dan PKI. Perolehan kursi DPR antara lain Masyumi 60, PNI 58, NU 47 dan PKI 32, sedangkan perolehan kursi dewan konstituante antara lain PNI 119, Masyumi 112, NU 91 dan PKI 80.

3. Latar Belakang Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Pengaruh yang Ditimbulkan

a. Upaya Dewan Konstituante Menyusun UUD

Tugas Dewan Konstituante adalah merancang UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. anggota dewan ini bersidang pada 10 November 1956, ternyata sampai tahun 1958 dewan konstituante belum berhasil merumuskan UUD. Hal ini disebabkan sering timbulnya perdebatan yang berlarut-larut, masing-masing partai mementingkan partainya. Sementara dikalangan masyarakat menuntut agar diberlakukannya kembali ke UUD 1945. menanggapi hal tersebut presiden Soekarno menyampaikan amanatnya di depan sidang dewan konstituante pada 25 April 1959 yang isinya menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945. amanat ini menjadi perdebatan dan akhirnya diputuskan melakukan pemungutan suara. 30 Mei 1959 pemungutan suara dengan hasil 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Tetapi suara terbanyak belum memenuhi kuorum (dua pertiga jumlah minimal anggota yang hadir) sehingga pemungutan suara harus diulang. Pemungutan suara kembali diadakan pada 1 dan 2 Juni 1959, tetapi selalu gagal mencapai kuorum, sehingga untuk meredam kebuntuan dewan konstituante memutuskan reses (istirahat dari kegiatan sidang). Kegagalan dewan konstituante menetapkan UUD baru tentu saja sangat membahayakan kelangsungan negara. Pemberontakan-pemberontakan di daerah terus bergejolak dan gangguan keamanan pun semakin gawat. Timbulnya ketidakstabilan negara itu disebabkan negara tidak memiliki pedoman konstitusi yang jelas. Untuk mencegah ekses yang membahayakan negara pada 3 Juni 1959 penguasa perang pusat (Letjen AH Nasution) atas nama pemerintah mengeluarkan peraturan yang melarang kegiatan-kegiatan politik.

b. Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Setelah dewan konstituante gagal menetapkan UUD 1945 menjadi konstitusi RI, presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka pada 5 Juli 1959 pukul 17.00 yang berisi antara lain:

- Pembubaran Dewan Konstituante

- Pemberlakuan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950

- Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya

Dekrit presiden tersebut mendapat dukungan dari masyarakat. Kasad memerintahkan kepada segenap anggota TNI untuk melaksanakan dan mengamankan dekrit tersebut. Mahkamah Agung membenarkan dekrit tersebut. DPR dalam sidangnya pada 22 Juli 1959 secara aklamasi menyatakan kesediaanya untuk terus bekerja dengan berpedoman kepada UUD 1945.

c. Pengaruh Dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Semenjak pemerintah RI menetapkan dekrit presiden 5 Juli 1959, Indonesia memasuki babak sejarah baru, yakni berlakunya kembali UUD 1945 dalam kerangka “Demokrasi Terpimpin”. Menurut UUD 1945 demokrasi terpimpin mengandung pengertian kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Yang dimaksud permusyawaratan/perwakilan adalah majelis pemusyawaratan rakyat (MPR) sebagai pemegang kedaulatan. Dengan demikian harus dimaknai bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan sepenuhnya dilakukan oleh MPR. Namun makna ini kemudian ditafsirkan lain oleh pemerintah saat itu. Presiden Soekarno menafsirkan pengertian terpimpin sebagai suatu figur pimpinan yang memiliki peran menentukan dalam mengambil keputusan-keputusan yang tepat agar pemerintah dapat berjalan dengan baik. Akibatnya kekuasaan lebih banyak berpusat di tangan presiden daripada kekuasaan lembaga legislatif (DPR).

Dalam perjalanan selanjutnya, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ditindaklanjuti dengan penataan bidang politik, sosial-ekonomi dan pertahanan keamanan. Sebagai realisasinya pada 20 Agustus 1959 Presiden Soekarno menyampaikan surat No.2262/HK/59 kepada DPR yang isinya menekankan kepada kewenangan presiden untuk memberlakukan peraturan negara baru. Selain ia juga harus membuat peraturan negara menurut UUD 1945. atas dasar peraturan negara baru tersebut, presiden membentuk lembaga negara seperti: MPRS, DPAS, DPR-GR, Kabinet Kerja dan Front Nasional.

1) Pembentukan MPRS

Dibentuk melalui penetapan presiden No.2 Tahun 1959. keanggotaan MPRS terdiri atas anggota-anggota DPR sebanyak 261 orang, utusan daerah 94 orang dan wakil golongan sebanyak 200 orang. Susunan pimpinan MPRS adalah sebagai berikut:

Ketua : Chaerul Saleh

Wakil Ketua : Mr. Ali Sastroamidjojo

Wakil Ketua : JH. Idham Khalid

Wakil Ketua : DN Aidit

Wakil Ketua : Wiluyo Puspoyudo

Menurut penetapan presiden No.12 Tahun 1959, tugas MPRS hanya sebatas pada kewenangan menetapkan GBHN. Hal ini menunjukkan bahwa presiden berusaha membatasi kewenangan MPRS. Demikian pula tentang keberadaan semua pimpinan MPRS yang dalam praktiknya diangkat oleh presiden. Para pimpinan MPRS yang diangkat presiden tersebut adalah para menteri yang memegang departemen-departemen. Sebagai pimpinan MPRS sekaligus anggota kabinet. Hal ini berarti bahwa MPRS bukan lagi sebagai lembaga negara tertinggi. MPRS mempunyai kedudukan di bawah presiden. Dengan demikian kedaulatan rakyat berada di bawah presiden.

Pada tahun 1960 – 1965 MPRS telah melakukan 3 kali persidangan yang dilaksanakan di Gedung Merdeka Bandung. Adapun sidang-sidang tersebut adalah:

a. Sidang umum pertama (10 November – 7 Desember 1960) menghasilkan ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960 yang menetapkan manifesto politik republik Indonesia sebagai GBHN, ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 tentang garis-garis pola pembangunan nasional semesta berencana tahapan pertama 1961 – 1969.

b. Sidang umum kedua (15 22 Mei 1963) diantaranya menghasilkan ketatapan MPRS No. III/MPRS/1963 tentang pengangkatan presiden Soekarno/mandataris MPRS menjadi presiden seumur hidup.

c. Sidang umum ketiga (11 – 16 April 1965) diantaranya menghasilkan ketetapan MPRS No. V/MPRS/1965 tentang pidato presiden Soekarno berjudul “Berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari)” sebagai pedoman revolusi dan politik luar negeri Indonesia.

2) Pembentukan DPAS

Dibentuk berdasarkan penetapan presiden No.3 tahun 1959 antara lain:

a. Anggota DPAS diangkat dan diberhentikan oleh presiden

b. Tugas DPAS adalah memberi jawaban atas pernyataan presiden dan mengajukan usul kepada pemerintah

c. Anggota DPAS sebanyak 45 orang yang terdiri dari wakil golongan politik, ututsan daerah, wakil golongan dan seorang ketua.

d. DPAS dipimpin oleh presiden sebagai ketua

e. Sebelum memangku jabatan, wakil ketua dan anggota DPAS mengangkat sumpah/janji di hadapan presiden

3) Pembentukan DPR-GR

Dibentuk melalui penetapan presiden No. 4 tahun 1960. DPR-GR dibentuk menggantikan DPR hasil pemilu 1955 yang dibubarkan presiden sejak 5 Maret 1960 karena menolak mengesahkan rencana anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) untuk tahun 1961 yang diajukan presiden. Semua anggota DPR-GR diangkat oleh presiden sebanyak 283 orang yang terdiri dari 153 mewakili partai dan 130 mewakili golongan-golongan. Menurut Penpres No.32 Tahun 1964, DPR-GR adalah sebagai pembantu presiden menurut bidangnya masing-masing dan melaporkan kepada presiden pada waktu-waktu tertentu.

4) Pembentukan Kabinet Kerja

10 Juli 1959 Kabinet Djuanda (kabinet karya) dibubarkan dan sebagai gantinya adalah kabinet kerja yang dipimpin oleh presiden (sebagai perdana menteri) dan Ir. Djuanda ditunjuk sebagai menteri pertama. Kabinet kerja mempunyai 3 program yaitu: mencukupi kebutuhan sandang pangan, menciptakan keamanan negara dan melanjutkan perjuangan merebut Irian Barat.

5) Pembentukan Front Nasional

Dibentuk dengan Penpres No.13 Tahun 1959 pada 31 Desember 1959. lembaga ini merupakan organisasi masa yang berusaha memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita bangsa seperti yang terkandung dalam UUD 1945. front Nasional diketuai oleh presiden Soekarno dengan tujuan: menyelesaikan revolusi nasional indonesia, melaksanakan pembangunan semesta nasinal dan mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah RI.

PERISTIWA-PERISTIWA EKONOMI INDONESIA PASCA PENGAKUAN KEDAULATAN

Kondisi Ekonomi Indonesia Menjelang Pengakuan Kedaulatan

Republik Indonesia yang baru berdiri mewarisi kondisi ekonomi yang kacau akibat pendudukan Jepang. Awal kemerdekaan, kondisi ekonomi dilanda inflasi. Penyebabnya adalah mata uang Jepang beredarnya mata uang Jepang yang tidak terkendali. Pemerintah RI belum bisa menyatakan bahwa mata uang Jepang tidak berlaku, karena belum memiliki uang sendiri sebagai penggantinya. Untuk sementara pemerintah mengakui beredarnya 3 mata uang yaitu mata uang De Javanche Bank, mata uang Hindia Belanda dan mata uang Jepang. Situasi perekonomian diperparah dengan adanya blokade laut oleh Beland sejak kedatangannya kembali ke Indonesia bersama sekutu. Dalam upaya untuk mengatasi hal tersebut pemerintah RI melalui menteri keuangan (Ir. Surachman) mengeluarkan kebijakan “pinjaman nasional” yang disetujui oleh BPKNIP. Pinjaman itu direncanakan akan mencapai Rp. 1.000.000.000. yang dibagi dalam dua tahap. Pinjaman akan dibayar kembali selambatnya dalam waktu 40 tahun. Ternyata kebijakan pemerintah mendapat sambutan dan dukungan yang baik dari rakyat. Buktinya pemerintah berhasil mengumpulkan uang sejumlah pegadaian. Sukses yang dicapai ini merupakan suatu ukuran bagi besarnya kepercayaan dan dukungan rakyat kepada pemerintah dan aparatnya. Pada 6 Maret 1946 Belanda mengumumkan pemberlakuan uang baru yaitu mata uang NICA untuk menggantikan mata uang Jepang. Pemerintah RI mengingatkan kepada masyarakat bahwa di wilayah RI hanya berlaku 3 mata uang sebagaiman yang telah diumumkan pada 1 Oktober 1945. sebagai tindak lanjut pemerintah mengeluarkan uang kertas baru yang dinamai Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Sejak saat itu terjadi penukaran 1.000 mata uang Jepang ditukar dengan Rp. 1 mata uang ORI. Kebijakan pemerintah ini cukup memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia kendatai belum memperbaiki keadaan seluruhnya.

Pemerintah RI selanjutnya mendirikan Bank Negara Indonesia (BNI) pada 5 Juli 1946 dan mendirikan Banking and Trading Corporation (BTC). BTC berhasil mengadakan kesepakatan dagang dengan perusahaan swasta Amerika Serikat-Isbrantsen Inc yang bersedia membeli gula, karet, teh dll dari Indonesia. Konferensi ekonomi pertama (Feb 1946) dan kedua (6 Mei 1946) diselenggaarakan dalam upaya untuk menanggulangi masalah ekonomi. Kebijakan yang berhasil dibuat antara lain yaitu mendirikan Badan Persediaan dan Pembagian Bahan Makanan (PPBM-kemudian sekarang dikenal dengan Bulog), pembentukan Perusahaan Perkebunan Negara (PPN), pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) pada 19 Januari 1947 atas usul dr. AK Gani (menteri kemakmuran). Kebijakan Planning Board antara lain: menyatakan semua banguan umum, perkebunan dan industri yang sebelum perang milik negara jatuh ke tangan pemerintah RI. Bangunan umum vital milik asing akan dinasionalisasikan dengan pembayaran ganti rugi. Perusahaan modal asing akan dikembalikan kepada yang berhak sesudah diadakan perjanjian RI-Belanda. Ternyata usaha Planning Board ini belum membawa hasil yang diharapkan, sehingga menteri urusan bahan makanan IJ Kasimo merencanakan kegiatan ekonomi selama lima tahun yang terkenal dengan Plan Kasimo. Isi Plan Kasimo adalah anjuran untuk memperbanyak kebun bibit dan padi unggul. Penyembelihan hewan pertanian harus dicegah dan tanah kosong harus ditanami kembali, transmigrasi penduduk dari pulau Jawa ke Sumatera.

Kebijakan-kebijakan Ekonomi Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan

Gunting Syarifudin

Adalah pemotongan nilai mata uang (sanering) diatas Rp. 2,50 menjadi setengahnya, ini dilakukan pada 20 Maret 1950 oleh menteri keuangan RIS Syarifudin Prawiranegara.

Program Benteng (Benteng Group)

Dr. Sumitro Djojohadikusumo berpendapat bahwa hal yang perlu dilakukan dalam pembangunan ekonomi Indonesia adalah mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional. Untuk itu perlu ditumbuhkan pengusaha-pengusaha pribumi agar dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Pemerintah mencoba berperan dalam membantu memberikan bantuan kredit dan memberikan bimbingan konkret. Gagasan Sumitro tersebut selanjutnya dituangkan dalan program kabinet Natsir. Program benteng dimulai pada April 1950 dan selama 3 tahun tidak kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit, akan tetapi program ini tidak berjalan mulus karena karena pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dan mentalitas pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif.

Nasionalisasi de Javasche Bank

Ketentuan dalam KMB mengenai De Javasche Bank sangat merugikan bangsa Indonesia. Dalam perjanjian tersebut ditetapkan bahwa suatu peraturan pemerintah Indonesia tentang De Javasche Bank dan pemberian kredit dari De Javasche Bank kepada pemerintah Indonesia harus dikonsultasikan kepada pemerintah Belanda. Pada 19 Juni 1951 kabinet sukiman membentuk panitia nasionalisasi De Javasche Bank, berdasarkan keputusan pemerintah RI No.122 dan 123 tanggal 12 Juli 1951 pemerintah menghentikan Dr. Houwink sebagai presiden De Javasche Bank dan mengangkat Mr. Syarifudin Prawiranegara sebagai presiden De Javasche Bank yang baru. Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dan Bank Sirkulasi.

Sistem Ekonomi Ali Baba

Atas prakarsa Mr. Iskaq Cokrohadisuryo menteri perekonomian dalam kabinet Ali Sastroamijoyo I. kabinet ini memprioritaskan kebijakan Indonesianisasi dengan mengutamakan pertumbuhan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Dalam sistim ini Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba sebagai pengusaha non pribumi. Untuk memajukan ekonomi Indonesia perlu ada kerja sama antara pengusaha pribumi dan non pribumi. Pengusaha non pribumi diwajibkan memberikan latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduk jabatan-jabatan staf. Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-uasaha swata nasional dan memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan asing. Program ini tidak berjalan mulus karena pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.

Persetujuan Finansial Ekonomi (Finek)

Pada masa pemerintah kabinet burhanudin harahap Indonesia mengirim delegasi ke Jenewa untuk merundingkan masalah finansial ekonomi antara Indonesia dengan Belanda. Misi dipimpin oleh Anak Agung Gede Agung. Pada 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana persetujuan finansial ekonomi yaitu:

- Persetujuan finek hasil KMB dibubarkan

- Hubungan finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral

- Hubungan finek didasarkan pada UU nasional dan tidak boleh diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak

Karena pemerintah Belanda tidak mau menandatangi rencana persetujuan ini, maka pemerintah RI mengambil langkah sepihak dengan melakukan pembubaran Uni Indonesia-Belanda pada tanggal 13 Februari 1956. hal ini dimaksudkan untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Pada 3 Mei 1956 presiden Soekarno menandatangai undang-undang pembatalan KMB. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sementara itu pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.

Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)

Ketidakstabilan politik dan ekonomi menjadi penyebab terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi dan lambatnya pelaksanaan pembangunan. Pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, Pemerintah membentuk badan perencanaan pembangunan nasional yang disebut Biro Perancang Negara untuk merencanakan pembangunan jangka panjang dengan Ir. Djuanda sebagai menteri perancang nasional.

Bulan Mei 1956 biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961. RUU rencana pembangunan ini disetujui oleh DPR pada 11 November 1958. pada tahun 1957 akibat perubahan politik dan ekonomi sasaran dan prioritas RPLT ini diubah dalam Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). RPLT tidak berjalan dengan baik karena:

- Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat yang mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot

- Perjuangan membebaskan Irian barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolah ekonomi

- Adanya ketegangan antara pusat dan daerah, sehingga banyak daerah yang melakukan kebijakan ekonominya sendiri-sendiri

Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap)

Ketegangan antara pusat dan daerah pada masa kabinet Djuanda untuk sementara waktu dapat diredakan dengan diadakannya Munap. Ir. Djuanda memberikan kesempatan kepada Munap untuk mengubah rencana pembangunan itu agar dapat dihasilkan rencana pembanguan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Akan tetapi, rencana pembangunan ini tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena kesulitan dalam menentukan prioritas. Selain itu masih belum redanya ketegangan politik antara pusat dengan daerah menjadi penyebab macetnya rencana pembangunan tersebut.