Selasa, 20 Januari 2009

PEMBELAJARAN IPS-SEJARAH

BAB IV
PERJUANGAN BANGSA INDONESIA MEREBUT IRIAN BARAT

Perjuangan merebut Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi merupakan tanggung jawab bangsa dan pemerintah Indonesia. Di samping itu, sesuai dengan isi KMB, masalah Irian Barat akan diselesaikan dalam waktu satu tahun. Namun, sampai tahun 1962, Belanda masih menanamkan kekuasaannya di bumi Irian Barat. Berdasarkan kenyataan di atas, bangsa dan pemerintah RI berkewajiban untuk merebut Irian Barat (Papua) ke pangkuan ibu pertiwi. Upaya ini harus dilakukan secara damai, yaitu melalui diplomasi bilateral dengan Belanda maupun diplomasi multilateral dengan melibat PBB. Sikap pemerintah Belanda yang kurang serius untuk menyelesaikan masalah Irian Barat secara damai telah mendorong pemerintah dan bangsa Indonesia untuk menyelesaikan dengan jalan kekerasan. Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumumkan pemebentukan TRIKORA. Dengan demikian, upaya penyelesaian masalah Irian Barat melalui kekerasan (peperangan) sudah dimulai. Pasukan TNI dan para sukarelawan mulai diterjunkan ke berbagai wilayah di Irian Barat. Perjuangan tersebut mencapai hasil pada tanggal 1 Oktober 1962, ketika bendera Belanda diturunkan dan Sang Merah Putih mulai dikibarkan di Irian Barat pada tanggal 31 Desember 1962. Masuknya Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi semakin mantap setelah dilaksanakan penentuan pendapat rakyat (PEPERA) pada tanggal 14 Juli 1969.

A. Upaya Penyelesaian Masalah Irian Barat
Masalah Irian Barat merupakan konsekuensi logis dari proses perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada awal kemerdekaan pun masih terjadi perdebatan tentang luas wilayah Indonesia merdeka. Namun, setelah melalui proses yang panjang akhirnya disepakati bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia mencakup seluruh bekas jajahan Hindia Belanda. Keinginan bangsa Indonesia ini telah diterima oleh berbagai pihak, termasuk dalam Perjanjian Linggarjati dan Renville. Bahkan, hasilhasil KMB menysebutkan secara teas bahwa masalah Irian Barat akan diselesaikan dalam waktu satu tahun. Dengan demikian, Irian Barat merupakan bagian tidak terpisahkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perhatikan gambar di atas dan coba bandingkan pemahaman kalian dengan materi yang dipaparkan di bawah ini. Untuk menghindari jangan sampai Konferensi Meja Bundar (KMB) gagal, karena konferensi itu harus berakhir tanggal 2 Nopember 1949, maka atas saran UNCI, maka kedua belah pihak Indonesia – Belanda setuju, bahwa mengenai Irian Barat akan diselesaikan melalui perundingan dalam waktu setahun sesudah tanggal penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). Oleh karena itu, pihak RIS menuntut agar masalah Irian Barat dirumuskan secara jelas pada bagian akhir dari isi KMB. Artinya, status Irian Barat sebagai sebuah sengketa (dispute) harus disebutkan secara eksplisit. Akhirnya, mengenai Irian Barat ini dirumuskan dalam rancangan Piagam Penyerahan Kedaulatan Pasal 2 yang isinya di antaranya menyebutkan bahwa: Mengingat kebutuhan pihak-pihak yang bersangkutan hendak mempertahankan asas supaya semua perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari harus diselesaikan dengan jalan patut dan rukun, maka status quo Karisidenan Irian Barat (West Nieuw Guinea) tetap berlaku seraya ditentukan bahwa dalam waktu setahun sesudah tanggal penyerahan kedaulatan kepada RIS masalah kedudukan kenegaraan Irian Barat akan diselesaikan dengan jalan perundingan antara RIS dengan Belanda. Setelah KMB kemudian diadakan perundingan secara langsung mengenai Irian Barat oleh kerajaan Belanda dengan RIS dalam hubungan Uni Indonesia Belanda. Dalam perundingan yang diselenggarakan tanggal 25 Maret sampai dengan 1 April 1950 di Jakarta, kedua delegasi sepakat membentuk Komisi Gabungan. Pada bulan Agustus Komisi tersebut membuat laporan, tetapi laporannya terpisah. Wakil-wakil Belanda membuat laporannya sendiri, demikian pula dari RIS membuat laporannya sendiri yang berbeda. Jelasnya kedua laporan tersebut belum memberikan perkembangan baru terhadap penyelesaian Irian Barat. Sementara itu Menteri Urusan Uni dan Seberang lautan Belanda, Mr. van Maarseveen menyatakan bahwa setelah satu tahun dari penyerahan kedaulatan kepada RIS, West Niew Guinea (Irian Barat) harus tetap di bawah Belanda. Ia berdalih bahwa pendapat tersebut didasarkan pada kepentingan rakyat Irian Barat sendiri. Tanggal 4 Desember 1950 diadakan perundingan kembali di Den Haag. RI menawarkan konsesi-konsesi yang sangat luas kepada Belanda, asal Irian Barat diserahkan kepada Indonesia. Usulan pemerintah Indonesia tidak diterima oleh pemerintah Belanda. Penolakan Belanda didasarkan pada alasan bahwa Belanda merasa bertanggungjawab untuk memajukan rakyat Irian Barat dan rakyat Irian Barat akan menentukan pilihannya sendiri. Sebaliknya, alasan pemerintah Belanda tidak dapat diterima oleh delegasi Indonesia. Mengingat tidak ada kesepakatan antara kedua belah pihak, kemudian Belanda mengusulkan agar masalah Irian Barat diserahkan saja kepada Mahkamah Internasional di Den Haag. Dengan demikian, status Irian Barat akan ditentukan oleh lembaga internasional tersebut. Usulan tersebut ditolak pihak Indonesia karena dipandang bukan jalan terbaik bagi Indonesia. Dalam keadaan sengketa yang demikian itu, pemerintah Belanda, dengan persetujuan parlemen telah memasukkan Irian Barat ke wilayah Kerajaan Belanda. Pemasukan itu dengan cara merubah Hindia Belanda (Nederlands Indie) menjadi Nederlands West Niew Guinea. Pemerintah Indonesia mencoba untuk menjajagi kemungkinan pemecahan masalah itu, namun Belanda tidak mau menempuh kompromi. Ini terbukti dengan adanya pernyataan Pemerintah Belanda di muka Parlemen Belanda pada tanggal 29 Oktober 1952 bahwa tidak ada gunanya lagi membicarakan masalah Irian Barat dengan Indonesia. Penyelesaian masalah Irian Barat menjadi berlarut-larut karena sikap Belanda yang berkeinginan menanamkan kekuasaannya. Sampai tahun 1962, Belanda masih menanamkan kekuasaannya di Irian Barat. Oleh karena itu, pemerintah dan bangsa Indonesia harus mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi.

B. Perjuangan Melalui PBB
Setelah lebih kurang selama 3 (tiga) tahun, diplomasi Indonesia dan Belanda mengalami kegagalan, maka pemerintah Indonesia mengambil inisiatif memperjuangkan masalah Irian Barat melalui Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Pada bulan September 1954, dalam sidang Umum PBB yang ke-9, Indonesia mengajukan masalah Irian Barat ke PBB. Pihak Indonesia mengemukakan beberapa hal yang intinya diantaranya adalah: (1) Irian Barat adalah merupakan bagian integral dari Indonesia, (2) Persetujuan Linggarjati dan Renville menerima pendirian dasar bahwa Nederlands Oost Indie secara keseluruhan akan dijelmakan dalam suatu negara Indonesia yang merdeka, (3) KMB adalah suatu kompromi sementara dalam hal penundaan masalah kedaulatan, (4) Pada tahun 1950, 1951, 1952 Indonesia telah berusaha untuk merundingkan masalah Irian Barat itu, tetapi selalu ditolak oleh Belanda, dan (5) Indonesia ingin mencari jalan pemecahan secara damai. Hanya minta agar diadakan perundingan kembali dengan anjuran dan dorongan dari PBB. Terhadap usul untuk resolusi dari Indonesia itu, pihak Belanda menolaknya, dengan alasan yang kurang lebih sama dengan sebelum-sebelumnya. Selanjutnya PBB mengharapkan agar Indonesia dan Belanda meneruskan usahanya untuk menyelesaikan perselisihan yang ada, selaras dengan asas-asas PBB. Di dalam mengajukan rancangan resolusi itu Indonesia mendapat dukungan dari 34 suara. Sedangkan suara yang dibutuhkan adalah 2/3 dari 60 suara, yaitu 40 suara. Dengan demikian rancangan resolusi itu tidak dapat menjadi keputusan PBB, sehingga akhirnya hanya menjadi seruan saja. Usaha yang dilakukan pihak Indonesia tidak berhenti begitu saja, pada Sidang Umum PBB ke-10 pada tahun 1955, Indonesia mengajukan lagi agar masalah Irian Barat diagendakan kembali dengan disponsori oleh 15 negara Asia-Afrika. Tetapi setelah melalui perdebatan dan pendekatan-pendekatan, maka Indonesia dan Belanda akan mengadakan perundingan kembali di Jenewa. Dengan hasil pendekatan tersebut, maka PBB tidak membuka perdebatan pada Sidang Umum ke-10, dan hanya membuat pernyataan, agar perundingan Indonesia Belanda itu dapat berhasil. Meskipun akhirnya diketahui bahwa perundingan di Jenewa ternyata tidak menghasilkan titik temu yang diharapkan. Meskipun demikian bagi Indonesia adalah suatu kemajuan, karena dunia internasional mengetahui dengan jelas, bahwa antara Indonesia dengan belanda masih ada ganjalan masalah Irian Barat. Dengan kegagalan perundingan di Jenewa, maka pada Sidang Umum PBB ke-11 tahun 1956, diajukanlah lagi rancangan resolusi oleh 15 negara Asia-Afrika. Tetapi rancangan resolusi inipun akhirnya gagal, karena memperoleh dukungan suara kurang dari 2/3. Kegagalan itu merupakan bukti bahwa diplomasi Belanda untuk menentang resolusi tersebut sangat baik. Pada tahun 1956, hubungan diplomatik dan politik antara Indonesia dengan Belanda semakin panas. Selanjutnya pihak Indonesia melakukan politik konfrontasi di bidang politik dan ekonomi. Kalau pada tahun 1953, pihak Indonesia telah menghapus Misi Militer Belanda sebagai reaksi terhadap sikap keras Belanda yang tidak mau mengadakan perundingan dengan Indonesia, maka pada tanggal 15 Februari 1956 Indonesia telah memutuskan secara sepihak hubungan Uni Indonesia Belanda. Kemudian disusul dengan pembatalan secara sepihak keseluruhan
persetujuan KMB pada tanggal 2 Maret 1956. Pada Sidang Umum PBB ke-12 tahun 1957, diulangi lagi rancangan resolusi mengenai Irian Barat. Kali ini yang mengajukan 21 negara. Rancangan yang diajukan hampir sama, ditambah meminta kepada Ketua Umum PBB untuk menjadi perantara. Indonesia terus melakukan pendekatan-pendekatan untuk memperoleh dukungan terhadap rancangan resolusinya itu. Tetapi pada akhirnya pada pemungutan resmi, suara duapertiga tetap belum bisa diperoleh, yang berarti bahwa rancangan resolusi itu gagal kembali. Demikianlah, setelah mengalami kegagalan berkali-kali, maka Indonesia berpendapat bahwa jalan yang ditempuh melalui PBB bukan jalan yang menguntungkan. Sejak itu Indonesia menyatakan bahwa Indonesia tidak akan membawa persoalan Irian Barat ke Sidang Umum PBB lagi, dan akan mencari jalan lain yang lebih tepat. Dengan sikap tegas Indonesia itu, maka pada Sidang Umum PBB ke-13 tahun 1958 tidak ada pembicaraan lagi tentang Irian Barat. Selanjutnya Indonesia berpendirian bahwa pada dasarnya pengembalian Irian Barat tergantung pada kekuatan nasional bangsa Indonesia sendiri. Sejak itulah dimulai penggalangan kekuatan nasional yang kemudian menjadi “Politik Konfrontasi Pembebasan Irian Barat”. Untuk menggalang kekuatan nasional dalam rangka konfontrasi itu, maka pemerintah membentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat. Perusahaanperusahaan Belanda dikuasai oleh pemerintah Indonesia, dan kekuatan militer di sekitar Irian Barat mulai diperkuat Sementara itu, di Indonesia telah terjadi pergantian UUD, ialah dari UUDS 1950 kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Ini berarti kekuasaan pemerintahan ada di tangan Presiden, yang dapat menentukan keputusan politik dengan cepat. Atas tindakan Indonesia yang tegas, Belanda mengimbangi dengan rencana mengirimkan kekuatan militernya ke perairan Indonesia sebelah Timur, dengan alasan untuk melindungi Irian Barat dari bahaya yang mengancam. Atas tindakan Belanda ini, maka Indonesia menyatakan memutuskan hubungan diplomatik dengan kerajaan belanda pada tanggal 17 Agustus 1960. Langkah Indonesia ini mendapat angin segar dari PBB, karena dalam Sidang Umum ke-15 tahun 1960 menghasilkan resolusi PBB Nomor 1514 yang merupakan keharusan semua anggota PBB untuk selekas mungkin mengakhiri kolonisasi dalam segala bentuk dan manifestasinya. Terjadilah perubahan sikap pada Belanda, kalau semula yang mengajukan masalah Irian barat ke PBB adalah Indonesia, sejak adanya resolusi 1514 itu, Belandalah yang mengajukan masalah Irian Barat ke PBB. Pada Sidang Umum PBB ke-16 tahun 1961, Belanda mengajukan masalah Irian Barat ke PBB, tetapi tetap masih jauh dari keinginan Indonesia.

C. Tri Komando Rakyat dan Kembalinya Irian Barat
Front Nasional Pembebasan Irian Barat yang telah dibentuk tanggal 31 Desember 1959 merupakan langkah untuk menuju keutuhan wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Pada tanggal 13 Maret 1961 organisasi tersebut diperluas dengan membentuk organisasi Tatalaksana Sekretariat Pengurus Besar Front Nasional yang bertugas: (1) menyusun dan membina potensi nasional untuk pembebasan Irian Barat, dan (2) merencanakan aksi-aksi dan tindakan-tindakan untuk membebaskan Irian Barat. Bantuan moril terhadap pengembalian wilayah Irian Barat, ternyata makin lama makin mendapat dukungan dari negara-negara lain, terutama negara-negara Asia-Afrika. Jepang yang semula bersifat netral, akhirnya juga berpihak kepada Indonesia. Rencana kunjungan muhibah kapal induk Karel Doorman milik Belanda ke Jepang yang semula sudah disetujui, akhirnya persetujuan itu dibatalkan oleh pihak Jepang. Ketegasan pemerintah Republik Indonesia dalam menyelesaikan masalah Irian Barat tampak dalam Tri Program Kabinet Kerja tahun 1960, dengan mencantumkan perjuangan Pembebasan Irian Barat sebagai salah satu program yang diikuti dengan langkah-langkah nyata. Selanjutnya Presiden telah memerintahkan untuk menyusun rencana Operasi Gabungan Irian Barat. Selanjutnya Presiden Sukarno membentuk Dewan Pertahanan Nasional (DEPERTAN), yang diberi tugas untuk merumuskan pengintegrasian segenap potensi kekuatan nasional guna membebaskan Irian Barat. Dalam rapatnya tanggal 14 Desember 1961, DEPERTAN membentuk Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat (KOTI PEMIRBAR). Panglima KOTI dijabat oleh Presiden Sukarno dan dibantu oleh ketiga Staf Angkatan: Darat, Laut, dan Udara. Dalam pidato di muka rapat akbar atau raksasa di Yogyakarta, pada tanggal 19 Desember 1961 Presiden Sukarno dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat mencanangkan suatu komando, yang dikenal sebagai Tri Komando Rakyat (Trikora). Sesudah itu dibentuklah Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dipimpin oleh Mayor Jendral Suharto. Mulailah dilakukan operasi infiltrasi masuk ke daratan Irian Barat melalui laut dan udara. Pasukan Indonesia dan para sukarelawan dalam rombongan kecil masuk Irian Barat melalui laut dengan menggunakan perahu. Sampai bulan Agustus 1962 sudah banyak yang menyusup dan mengadakan persiapan untuk melakukan penyerangan yang menentukan. Operasi infiltrasi penerjunan dari udara merupakan kegiatan yang benar-benar heroik dan patriotik. Bayangkan, kemungkinan antara hidup dan mati bagi yang diterjunkan di hutan belantara Irian Barat adalah 50: 50. Jadi kemungkinan resiko untuk gugur sangatlah besar. Pembebasan Irian Barat merupakan pengorbanan yang luar biasa bagi para putra-putri Indonesia. Kehadiran para sukarelawan Indonesia di bumi Irian Barat mendatangkan tekanan kepada pemerintah Belanda. Oleh karena itu, pemerintah Belanda setuju menyerahkan Irian Barat kepada Republik Indonesia secara bertahap. Untuk menyusun proses penyerahan, perlu dilaksanakan perjanjian di New York, Amerika Serikat yang direncanakan pada tanggal 15 Agustus 1962. Sebenarnya pemerintah Republik Indonesia sudah menyiapkan Operasi Jaya Wijaya untuk menyerbu Irian Barat secara besar-besaran, seandainya Belanda tidak mau menyerahkan Irian Barat dengan cepat dan baik-baik. Sukurlah, keadaan berjalan dengan damai, sehingga operasi Jaya Wijaya tidak sampai dilakukan. Sebab jika hal ini terjadi, maka akan memakan korban yang tidak sedikit, baik dari pihak Belanda maupun dari pihak Indonesia. Rencana Operasi Jaya Wijaya merupakan suatu rencana yang menyeluruh dan terpadu. Seandainya tidak terjadi perundingan New York, maka akan terjadi pertempuran besar-besaran di Irian Barat sesuai dengan rencana Operasi Jaya Wijaya yang disusun oleh para ahli siasat perang Indonesia. Irian Barat masih dikuasai oleh Belanda hingga 1 Oktober 1962. Pada hari itu bendera Belanda secara resmi diturunkan dari angkasa Irian Barat. Bendera Sang Merah Putih sudah berkibar secara resmi di Irian barat pada 31 Desember 1962. Pemerintah Republik Indonesia secara keseluruhan masuk ke Irian Barat pada tanggal 1 Mei 1963. Selanjutnya, Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) atau act of free choice diadakan pada tanggal 14 Juli 1969, dengan hasil rakyat Irian Barat memilih bergabung dengan Republik Indonesia. Dalam perjuangan pembebasan Irian Barat sebagaimana telah dipaparkan di muka, kapal Republik Indonesia Macan Tutul telah tenggelam secara jantan di perairan Laut Aru pada tanggal 15 januari 1962 bersama dengan Komodor Jos Sudarso dan Kapten (L) Wiratna serta pahlawanpahlawan laut lainnya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar