BAB III
PERISTIWA-PERISTIWA POLITIK DAN EKONOMI
PERISTIWA-PERISTIWA POLITIK
Karena didesak Dewan Keamanan PBB, Belanda bersedia mengadakan perundingan Renvile dengan Indonesia dan dilanjutkan dengan perundingan KMB di Den Haag Belanda 1949 berhasil mengakhiri pertikaian Indonesia-Belanda dengan pengakuan kedaulatan kepada Indonesia. Pada 2 November 1949 di Den Haag terbentuklah negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri dari 16 negara bagian dan sebagai presidennya adalah Soekarno dan Moh. Hatta diangkat sebagai Perdama Menteri.
Proses Kembalinya Republik
Secara resmi Belanda mengakui kedaulatan
a. Terbentuknya Negara Federasi RIS
14 Desember 1949 wakil-wakil pemerintah RI dan negara-negara bagian melakukan pertemuan musyawarah federal di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Pertemuan tersebut berhasil menyetujui Undang-undang Dasar RIS. Berdasarkan UUD RIS negara federasi RIS terdiri atas tujuh negara bagian (RI, NIT, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatra Timur-NST, Negara Sumatra Selatan), sembilan satuan kenegaraan (Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Dayak Besar, Banjar, Kalimantan Tenggara, Bangka, Biliton-Belitung, Riau Kepulauan, Jawa Tengah) dan tiga daerah swapraja (Waringin, Sabang, Padang). Selengkapnya negara-negara tersebut adalah sebagai berikut:
- Republik
RI berdiri 17 Agustus 1945, sebagai presiden dan wakil presidennya adalah Soekarno dan Moh. Hatta. Pusat pemerintahan semula di
- Negara Pasundan
Diproklamasikan oleh Soeria Kartalegawa (Ketua Partai Rakyat Pasundan) pada 4 Mei 1947 di Bandung, namun baru resmi terbentuk pada 5 Maret 1948 dengan wali negaranya RAA. Wiranatakusumah.
- Negara
NIT merupakan negara pertama yang dibentuk Van Mook dalam konferensi Denpasar pada 18-24 Desember 1946, wilayah NIT meliputi Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku dengan presidennya adalah Cokorde Gde Raka Sukawati.
- Negara Madura
Dibentuk 23 Januari 1948 atas prakarsa Van Der Plas (tokoh Belanda yang pandai bahasa Madura dan ahli agama islam) sebagai wali negaranya adalah RAA. Cakraningrat.
- Negara Sumatra Timur
Berdiri berdasarkan surat keputusan Van Mook pada 24 Maret 1948, wilayahnya meliputi Medan, Asahan Selatan, Labuhan Batu dan sekitarnya dengan wali negaranya adalah Dr. Tengku Mansyur.
- Negara Sumatra Selatan (NSS)
Oleh Van Mook disetujui pada 30 Agustus 1948 dengan negaranya adalah Abdul Malik. Wilayah NSS meliputi
- Negara Jawa Timur
Melalui konferensi di Bondowoso (16 November 1948) Van Der Plas mendirikan Negara Jawa Timur, tapi secara resmi berdiri 26 November 1948 dengan wilayah meliputi Surabaya, Malang, daerah sebelah timur sampai Banyuwangi dengan wali negaranya adalah RTP. Achmad Kusumonegoro.
- Daerah Istimewa Kalimantan Barat (
Berdiri pada 12 Mei 1947 dan disetujui oleh Van Mook, dengan kepala daerahnya adalah Sultan Hamid Algadrie II.
- Federasi Kalimantan Timur
Berdiri sejak Februari 1948, Tenggarong termasuk didalamnya.
- Daerah Otonom Dayak Besar
Dibentuk pada Desember 1946 dan baru memiliki konstitusi sejak Desember 1948, wilayahnya adalah daerah Kalimantan Tengah sekarang.
- Daerah Otonom Banjar
Terlahir sejak Januari 1948 dan meliputi Kalimantan Selatan sekarang.
- Dewan Federal
Disetujui oleh Van Mook pada 9 Mei 1947, wilayahnya meliputi Pulau Laut dan Kalimantan Tenggara, Pegatan, Cantung Sampanahan.
- Daerah Otonom Bangka, Biliton (
Diciptakan oleh Van Mook pada bulan Januari 1947 dan pada bulan Juni 1948 ketiganya bergabung menjadi federasi.
- Daerah Otonom Jawa Tengah
Dibentuk pada bulan Maret 1949 sesudah agresi militer Belanda II. Wilayah Jawa Tengah meliputi sebagian Banyumas, Pekalongan dan
b. Munculnya Gerakan Separatis
Sebagian masyarakat tidak mendukung terbentuknya RIS (kelompok unitaris) dan sebagian lagi mendukung terbentuknya negara federal (kelompok federalis). Kelompok unitaris banyak terdapat di negara Pasundan dan negara Jawa Timur, mereka menghendaki negara yang sesuai dengan UUD 1945 dan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945. Kelompok federalis mulai melemah setelah beberapa tokohnya berkhianat terhadap RIS yaitu Sultan Hamid II yang bersekongkol dengan Raymond Westerling membantai rakyat di Sulawesi Selatan, membunuh tentara republik di
Di Sulawesi Selatan kapten Andi Azis menyerang markas TNI di Makasar dan sejak 5 April 1950 Andi Azis menyatakan mempertahankan NIT. Di Maluku Selatan muncul gerakan separatis RMS di bawah pimpinan Dr. Soumokil pada 25 April 1950.
c. Perjuangan Kembali ke Negara Kesatuan
RI, BFO dan Belanda menyepakati terbentuknya RIS, negara RIS yang berbentuk federasi ini pada hakikatnya tidak sesuai dengan cita-cita proklamasi. Belanda mendirikan RIS dengan maksud untuk mempermudah memecah belah bangsa
19 Mei 1950 dilangsungkan perundingan antara pemerintah RIS (Moh. Hatta-wakil dari NST dan NIT) dengan pemerintah RI yang diwakili oleh Abdul Halim. Perundingan tersebut menghasilkan persetujuan: RIS dan RI sepakat membentuk negara kesatuan berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945 dan RI dan RI akan membentuk panitia bersama yang bertugas menyusun undang-undang dasar negara kesatuan. Untuk menyusun konstitusi negara kesatuan yang baru maka dibentuklah panitia gabungan RIS dan RI dengan ketua bersama, menteri kehakiman Prof. Dr. Mr. Soepomo dan wakil perdana menteri RI Abdul Halim.
Pada 14 Agustus 1950 parlemen RI dan senat RIS mengesahkan UUD NKRI (UUD Sementara 1950). NKRI resmi berlaku sejak 17 Agustus 1950, secara otomatis RIS bubar.
Persoalan Hubungan Pusat dan Daerah Pasca Pembentukan NKRI
Persoalan pertentangan antara pemerintah pusat dengan daerah, baik yang berupa pertentangan ideologi antar partai maupun antar kepentingan, pergolakan sosial-politik ini terjadi pada kurun waktu 1950-1965. Ditengah-tengah memburuknya keadaan pemerintahan akibat pemberontakan di daerah, presiden Soekarno melontarkan suatu gagasan “Konsepsi Presiden” pada 21 Februari 1957 di Istana Merdeka yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi dan kinerja pemerintahan. Isi Konsepsi Presiden tersebut adalah:
- Sistem demokrasi parlementer model barat tidak sesuai dengan kepribadian
- Untuk melaksanakan demokrasi terpimpin perlu dibentuk kabinet gotong royong yang beranggotakan wakil-wakil semua partai dan organisasi berdasarkan perimbangan kekuatan yang ada dalam masyarakat.
- Dibentuk dewan nasional yang terdiri dari wakil-wakil golongan fungsional dalam masyarakat, dewan ini bertugas memberi nasehat kepada kabinet.
Pertentangan antara pusat dan daerah tersebut mengakibatkan munculnya berbagai pembrontakan antara lain:
a. Peristiwa PRRI di Sumatra
Muncul setelah ada reuni mantan divisi banteng di
Sejak 9 Desember 1956 Kasad mengeluarkan pengumuman yang melarang perwira-perwira angatan darat melakukan kegiatan politik. Larangan tersebut tidak diindahkan bahkan Achmad Husein mengambil alih kekuasaan gubernur Ruslan Muljohardjo pada 20 Desember 1956. Selain dewan Banteng, muncul pula dewan-dewan lain di daerah lain seperti:
- Dewan Gajah di Sumatera Utara (Kolonel Maludin Simbolon)
- Dewan Garuda di Sumatera Selatan (Letkol Barlian)
- Dewan Manguni di Sulawesi Utara (Letkol Ventje Sumual)
Pemerintah pusat berusaha menyelesaikan perselisihan pusat-daerah melalui cara musyawarah. Pada bulan Maret 1957 diadakan konferensi Panglima Tentara dan Teritorium seluruh
9 Januari 1958 diselenggarakan pertemuan yang membicarakan pembentukan pemerintahan baru di Sungai Dareh, Sumtera Barat, pertemuan ini dihadiri oleh pimpinan dewan-dewan dan tokoh-tokoh sipil seperti Syarif Usman, Burhanudin Harahap dan Syafruddin Prawiranegara. Keesokan harinya Letkol Achmad Husein mengeluarkan ultimatun kepada pemerintah pusat agar kabinet Djuanda menyerahkan mandat kepada presiden dalam waktu 5 x 24 jam dan presiden diminta untuk kembali kepada kedudukan sebagai presiden yang konstitusional. Ultimatum ini ditolak oleh pemerintah bahkan Letkol Achmad Husein di pecat dari Angkatan Darat. Achmad Husein kemudian mengumumkan berdirinya pemerintah revolusioner republik Indonesia (PRRI) di Padang pada 15 Februari 1958 dengan perdama menterinya Syarifudin Prawiranegara.
Untuk menumpas gerakan separatis PRRI pemerintah melakukan operasi militer antara lain:
- Operasi Tegas (Letkol Kaharudin Nasution) untuk mengamankan Riau
- Operasi 17 Agustus (Kol Ahmad Yani) untuk mengamankan Sumatera Barat
- Operasi Saptamarga (Brigjen Djatikukumo) untuk mengamankan Sumatera Utara
- Operasi Sadar (Letkol Ibnu Sutowo) untuk mengamankan Sumatera Selatan
Dalam waktu singkat operasi gabungan ini dapat menumpas PRRI, Achmad Husein beserta pasukannya menyerahkan diri pada 29 Mei 1961.
a. Peristiwa Permesta di Sulawesi
Di Makasar panglima tentara dan teritorium III Letkol Ventje Sumual memproklamasikan berdirinya Piagam Perjuangan Semesta (Permesta) pada 2 Maret 1957 yang meliputi wilayah Sulawesi, Kep. Nusa Tenggara dan Maluku.
DJ. Somba (komando daerah militer Sulawesi Utara dan tengah) mengeluarkan pernyataan bahwa sejak 17 Februari 1958 Sulawesi Utara dan Tenggara memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat dan mendukung PRRI. Pemerintah segera bersikap tegas untuk menumpas Permesta dengan melancarkan operasi gabungan yaitu Operasi Merdeka (dipimpin Letkol Rukmito Hendraningrat). Operasi ini terdiri dari beberapa bagian antara lain:
- Operasi Saptamarga I (Letkol Soemarsono) untuk mengamankan Sulawesi Utara bagian tengah
- Operasi Saptamarga II (Letkol Agus Prasmono) untuk mengamankan Sulawesi Utara bagian selatan
- Operasi Saptamarga III (Letkol Magenda) untuk mengamankan Kepulauan sebelah utara
- Operasi Saptamarga IV (Letkol Rukmito Hendraningrat) untuk mengamankan Sulawesi Utara
- Operasi Mena I (Letkol Pieters) untuk mengamankan Jailolo
- Operasi Mena II (Letkol KKO Hunholz) untuk merebut lapangan udara Morotai di sebelah utara
Operasi militer APRI di Indonesia bagian timur merupakan operasi yang terberat karena kondisi geografis yang sangat menguntungkan permesta dan pemberontak memiliki persenjataan yang modern berupa pesawat pembon B-26 dan pemburu Mustang yang diduga merupakan bantuan Amerika Serikat, hal ini terbukti dengan ditembak pesawat yang dipiloti Allan Pope (orang Amerika Serikat).
a. Peristiwa APRA di Bandung
Adanya tuntutan dari mantan anggota tentara KNIL yang dibubarkan untuk tetap menjadi angkatan peran negara bagian dan keengganan TNI bergabung dengan KNIL merupakan salah satu penyebab munculnya pemberontakan APRA. Di Bandung bekas anggota KNIL yang tidak mau bergabung dengan APRIS membentuk organisasi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin oleh Raymond Westerling. APRA menuntut kepada pemerintah RIS agar organisasinya diakui sebagai tentara Pasundan dan menolak dibubarkannya negara Pasundan. Tuntutan APRA tidak dihiraukan oleh pemerintah, maka pada 23 Januari 1950 APRA melancarkan serangan terhadapa
Untuk menanggulangi APRA, pemerintah RIS segera mengirimkan kesatuan-kesatuan polisi Jawa Tengah dan Jawa Timur yang ketika itu di berada
b. Peristiwa Andi Azis di Makasar
Pada 5 April 1950 terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh bekas tentara KNIL dipimpin oleh Andi Azis. Alasan pemberontakan yang dilakukan Andi Azis adalah tidak mau menerima kehadiran 900 pasukan APRIS yang berasal dari TNI pimpinan Letkol Mokoginta dan ingin mempertahankan Negara Indonesia Timur (NIT). Dalam pemberontakannya Andi Azis menuntut agar tentara bekas KNIL diberi kekuasaan untuk bertanggung jawab atas keamanan di wilayah NIT. Ultimatum dari pemerintah pusat agar Andi Azis bertanggung jawab atas perbuatannya tidak diindahkan sehingga dalam waktu 4 x 24 jam pemerintah mengirim pasukan di bawah pimpinan Alex Kawilarang untuk menumpas pemberontakan Andi Azis. Hasilnya pada 15 April 1950 Andi Azis menyerahkan diri.
c. Peristiwa RMS di Maluku
Didirikan oleh Dr. Soumokil (bekas Jaksa Agung NIT) pada 25 April 1950, gerakan ini tidak menginginkan
Pergantian Antar Kabinet yang Cepat dalam Sistem Kabinet Parlementer
Sejak RIS bubar,
- Kedudukan kepala negara tidak dapat diganggu gugat
- Kabinet dipimpin perdana menteri yang bertanggung jawab pada parlemen
- Susunan anggota dan program kabinet didasarkan dengan suara terbanyak dalam parlemen
- Masa jabatan kabinet tidak ditentukan dengan pasti
- Kabinet dapat dijatuhkan pada setiap waktu oleh parlemen dan pemerintah juga dapat membubarkan parlemen
Pada masa demokrasi liberal telah terjadi pergantian kabinet sebanyak 7 kali. Tiap-tiap kabinet tidak dapat berumur panjang rata-rata hanya berumur 1 tahun, padahal idealnya pergantian 7 kali kabinet minimal akan menghabiskan waktu selama 35 tahun, jadi tidak mengherankan apabila program-program setiap kabinet tidak sempat dilaksanakan. Berikut kabinet yang pernah berkuasa di
a. Kabinet Natsir (6 Oktober 1950 - 21 Maret 1951)
Kabinet ini merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi dan dilantik presiden pada 6 September 1950 dengan perdana menterinya Muhammad Natsir. Kabinet ini memiliki formasi yang kuat karena didukung para tokoh yang mempunyai keahlian dibidangnya seperti: Sultan Hamengkubuwono IX, Mr. Asaat, Ir. Djuanda dan Dr. Soemitro Djojohadikusumo.
Program kabinet Natsir antara lain:
- Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman
- Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan
- Menyempurnakan organisasi angkatan perang
- Mengembangkan dan memperkuat kekuatan ekonomi rakyat
- Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat
Kabinet Natsir merintis perundingan bilateral masalah Irian Barat dengan Belanda. Namun perundingan ini menemui jalan buntu sehingga dimanfaatkan partai oposisi PNI dengan mengajukan mosi (kepercayaan) tidak percaya, selain masalah Irian Barat mosi tidak percaya juga muncul terhadap persoalan pembentukan DPRD yang dianggap menguntungkan Masyumi. Mosi ini diajukan PNI pada 22 Januari 1951 dan dimenangkan oleh PNI, sehingga kabinet Natsir menyerahkan mandatnya kepada presiden pada 21 Maret 1951
a. Kabinet Sukiman-Suwiryo (21 April 1951 - 23 Februari 1952) – 10 bulan
Pada 27 April 1951 dibentuklah kabinet baru yang merupakan koalisi partai PNI dan Masyumi dengan dipimpin oleh Dr. Sukiman Wirjosandjojo (Masyumi) dan Suwiryo (PNI).
Program kabinet Sukiman-Suwiryo antara lain:
- Menjalankan tindakan tegas sebagai negara hukum guna menjamin negara hukum guna menjamin keamanan dan ketentraman
- Mengusahakan kemakmuran rakyat secepat-cepatnya
- Mempercepat persiapan pemilihan umum
- Menjalankan politik luar negeri bebas aktif dan secepat-cepatnya memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI
Kabinet Sukiman-Suwiryo tidak berusia lama karena mendapat tentangan dari partai koalisinya dan sejak 23 Februari 1952 kabinet ini demisioner. Penyebab jatuhnya kabinet ini adalah karena ditandatanganinya bantuan ekonomi, teknik dan persenjataan dari Amerika Serikat atas dasar Mutual Security Act (MSA), ditafsirkan
a. Kabinet Wilopo (3 April 1952 - 3 Juni 1953) – 14 bulan
Muncul gagasan untuk membentuk zaken kabinet (kabinet yang didukung menteri yang memiliki keahlian dibidangnya) dengan menunjuk Wilopo (PNI) sebagai perdana menterinya.
Program Kabinet Wilopo antara lain:
- Melaksanakan Pemilu secepatnya
- Memajukan taraf hidup rakyat dan keamanan dalam negeri
- Memperjuangkan pengembalian Irian Barat dan melaksanakan politik luar negeri bebas aktif menuju perdamaian dunia
Semasa kabinet ini berkuasa timbul separatisme dan terjadinya peristiwa Tanjung Morawa (Sumatera Utara) yang ditunggangi PKI, sehingga parlemen bereaksi keras dan mengajukan mosi tidak percaya.
a. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (31 Juli 1953 - 24 Juli 1955) – 2 tahun
Dengan dukungan dari PNI dan NU, Mr. Ali Sastroamidjojo ditunjuk menjadi perdana menteri.
Program kabinet Ali Sastroamidjojo I antara lain:
- Keamanan, pemilu, kemakmuran, keuangan, organisasi negara, perburuhan, dan perundang-undangan
- Pengembalian Irian Barat
- Politik luar negeri bebas aktif
Pada masa ini muncul gerakan DI/TII di Jawa Barat, Aceh dan Sulawesi Selatan serta beberapa gerakan perlawanan di daerah. Kabinet Ali Sastroamidjojo I berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA). Penyebab jatuhnya kabinet Ali Sastroamidjojo I adalah mosi tidak percaya menyangkut pergantian pimpinan di AD, kabinet Ali Sastroamidjojo I dianggap tidak mampu menyelesaikan pertentangan pendapat antara pemerintah dengan TNI-AD.
e. Kabinet Burhanudin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956) – 7 bulan
Kabinet ini merupakan kabinet koalisi dengan Masyumi sebagai partai inti.
Program kabinet Burhanudin Harahap antara lain:
- Mengembalikan kewibawaan pemerintah dengan memupuk kepercayaan Angkatan Darat
- Pemilu, Desentralisasi, Mengatasi inflasi, Pemberantasan korupsi, Perjuangan Irian Barat
- Memajukan kerjasama Asia-Afrika atas dasar politik bebas aktif
Keberhasilan kabinet Burhanudin Harahap adalah suksesnya penyelenggaraan pemilu I dan pengangkatan Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) yaitu Abdul Haris Nasution. Kabinet ini jatuh karena dianggap telah menyelesaikan tugas menyelenggarakan pemilu I.
f. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956 – 14 Maret 1957) – 1 tahun
Kabinet Ali Sastroamidjojo II merupakan kabinet koalisi antara PNI, Masyumi dan NU.
Program kabinet Ali Sastroamidjojo II antara lain:
- Merencanakan dan melaksanakan pembangunan 5 tahun
- Mengembalikan Irian Barat ke pangkuan RI
- Melaksanakan politik luar negeri bebas aktif
Pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo II ternyata di daerah banyak terjadi gerakan separatis seperti: munculnya Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Garuda, Dewan Lambung Mangkurat (Kalsel) dan Dewan Manguni (Sulut). Sehingga melemahkan kabinet.
g. Kabinet Djuanda (9 April 1957 – 10 Juli 1959) – 26 bulan
Dengan menyusun program kerja yang disebut Pancakarya kabinet ini memprogramkan:
- Membentuk dewan nasional
- Normalisasi keadaan republik
- Melancarkan pelaksanaan pembatalan KMB
- Perjuangan Irian Barat
- Mempergiat pembangunan
Dewan nasional berfungsi sebagai dewan penasihat kabinet untuk memperlancar roda pemerintahan dan menjaga stabilitas politik untuk mendukung pembangunan negara. Dewan ini beranggotakan 45 orang dengan ketua adalah Ir. Soekarno. Tetapi kondisi negara semakin memburuk, terutama disebabkan oleh pemberontakan yang terjadi di daerah-daerah. Oleh karena itu pada 10-14 September 1957 diselenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) di Gedung Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur 56
Pada masa demokrasi liberal pergantian kabinet berlangsung terlalu cepat. Tokoh-tokoh politik saling berebut kursi “politik dagang sapi”, sehingga berdampak pada:
- Setiap kabinet hampir tidak sempat menjalankan program yang direncanakan
- Kepercayaan rakyat terhadap pemerintah semakin pudar
- Kondisi negara menjadi tidak stabil karena pergolakan sosial politik diberbagai daerah belum tertangani
2. Terselenggaranya Pemilihan Umum 1955
a. Partai-partai Peserta Pemilu Pertama
Partai politik adalah kelompok terorganisir yang mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama untuk memperoleh, merebut dan mempertahankan kekuasaan secara konstitusional. Masa pergerakan nasional mahasiswa memiliki andil besar dalam upaya melahirkan partai-partai politik, apalagi setelah kelahiran Budi Utomo 1908 banyak partai yang bermunculan, seperti SI (Sarekat Islam), IP (Indische Partij) dsb.
Partai-partai pada masa pergerakan nasional dari segi perjuanganya dapat dibedakan menjadi 2 macam:
- Partai-partai radikal (non kooperatif) seperti SI, PNI, Perhimpunan Indonesia (PI), Indische Partij (IP), dan PKI. Partai-partai ini tidak mau bekerjasama dengan pemerintah Belanda dengan tidak mau duduk daalam Dewan Rakyat (Volksraad) bentukan Belanda.
- Partai-partai moderat (kooperatif) seperti Budi Utomo, Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), Partai Indonesia Raya (Parindra), Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), dan Gabungan Politik Indonesia (Gapi).
Sedangkan bila dilihat aspek orientasinya dapat dibedakan dalam hal ekonomi (Sarekat Dagang Islam/SDI), agama (Sarekat Islam, PSII), nasionalis (Budi Utomo, PNI, PBI, Parindra, IP, Partindo, Gapi) dan sosialis (ISDV dan PKI).
Partai-partai politik yang eksis pada masa radikal, gerak langkah perjuanganya selalu mendapat pengawasan dari pemerintah Hindia Belanda melalui Politiek Inlichtingen Dienst (PID) sebagai dinas rahasia yang bekerja menindas kaum pergerakan. Keberadaan partai politik ketika itu amat diperlukan sebagai wadah perjuangan rakyat untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Pada masa pendudukan Jepang partai-partai politik dilarang berdiri. Semua kegiatan banyak diarahkan pada upaya memenangkan Perang Asia Timur Raya. Hanya organisasi sosial keagamaan yang mendapat kesempatan berdiri yaitu MIAI yang kelak berubah menjadi Masyumi. Izin yang diberikan Jepang terhadap MIAI berkaitan dengan upaya menarik simpati masyarakat islam agar membantu proyek perang Jepang.
Setelah kemerdekaan pemerintah RI memerlukan adanya DPR/MPR sebagai cerminan wakil rakyat yang sesuai dengan amanat UUD 1945. keberadaan DPR/MPR tidak terlepas dari kebutuhan perangkat partai politik. Pada gilirannya tiap partai politik tersebut akan berebut kursi untuk duduk di lembaga legislatif. Pemerintah mengeluarkan maklumat pemerintah 3 November 1945 yang intinya menyatakan pemerintah menghargai timbulnya partai-partai politik untuk menyalurkan aliran dan paham yang ada dalam masyarakat. Sejak saat itu lahirlah partai-partai politik yang hidup dengan partai-partai lama. Adapun partai-partai politik tersebut adalah:
- Majelis Syuro Muslimin
- Partai Komunis Indonesia (PKI) dipimpin oleh Moh. Jusuf sejak 7 November 1945
- Partai Buruh Indonesia (PBI) dipimpin oleh Nyono didirikan sejak 8 November 1945
- Partai Rakyat Jelata dipimpin oleh Sutan Dewanis didirikan sejak 8 November 1945
- Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dipimpin oleh Probowinoto didirikan 10 November 1945
- Partai Sosialis Indonesia (PSI) dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin didirikan 10 November 1945
- Partai Rakyat Sosialis (PRS) dipimpin oleh Sutan Syahrir didirikan 20 November 1945
- Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI) dipimpin oleh I.J Kasimo didirikan 8 November 1945
- Persatuan Rakyat Marhaen
- Partai Nasional Indonesia (PNI) dipimpin oleh Didik Joyosukarto sejak 29 Januari 1946
b. Penyelenggaraan Pemilihan Umum Pertama RI
Sejak kembali ke NKRI sebagian partai-partai politik yang ada tidak bekerja sebagai penyalur aspirasi rakyat. Mereka hanya memperjuangkan kepentigan golongan atau pribadi. Rakyat
Persiapan pemilu mulai dirintis semasa kabinet Ali I dan pelaksanaannya dilakukan pada masa kabinet Burhanudin Harahap. Pemilu pertama berlangsung 2 tahap yaitu:
- Tahap pertama pada 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR
- Tahap kedua pada 15 Desember 1955 untuk memilih anggota dewan konstituante (badan pembuat undang-undang dasar)
Dari 28 kontestan, pemilu pertama
3. Latar Belakang Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Pengaruh yang Ditimbulkan
a. Upaya Dewan Konstituante Menyusun UUD
Tugas Dewan Konstituante adalah merancang UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. anggota dewan ini bersidang pada 10 November 1956, ternyata sampai tahun 1958 dewan konstituante belum berhasil merumuskan UUD. Hal ini disebabkan sering timbulnya perdebatan yang berlarut-larut, masing-masing partai mementingkan partainya. Sementara dikalangan masyarakat menuntut agar diberlakukannya kembali ke UUD 1945. menanggapi hal tersebut presiden Soekarno menyampaikan amanatnya di depan sidang dewan konstituante pada 25 April 1959 yang isinya menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945. amanat ini menjadi perdebatan dan akhirnya diputuskan melakukan pemungutan suara. 30 Mei 1959 pemungutan suara dengan hasil 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Tetapi suara terbanyak belum memenuhi kuorum (dua pertiga jumlah minimal anggota yang hadir) sehingga pemungutan suara harus diulang. Pemungutan suara kembali diadakan pada 1 dan 2 Juni 1959, tetapi selalu gagal mencapai kuorum, sehingga untuk meredam kebuntuan dewan konstituante memutuskan reses (istirahat dari kegiatan sidang). Kegagalan dewan konstituante menetapkan UUD baru tentu saja sangat membahayakan kelangsungan negara. Pemberontakan-pemberontakan di daerah terus bergejolak dan gangguan keamanan pun semakin gawat. Timbulnya ketidakstabilan negara itu disebabkan negara tidak memiliki pedoman konstitusi yang jelas. Untuk mencegah ekses yang membahayakan negara pada 3 Juni 1959 penguasa perang pusat (Letjen AH Nasution) atas nama pemerintah mengeluarkan peraturan yang melarang kegiatan-kegiatan politik.
b. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Setelah dewan konstituante gagal menetapkan UUD 1945 menjadi konstitusi RI, presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka pada 5 Juli 1959 pukul 17.00 yang berisi antara lain:
- Pembubaran Dewan Konstituante
- Pemberlakuan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950
- Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
Dekrit presiden tersebut mendapat dukungan dari masyarakat. Kasad memerintahkan kepada segenap anggota TNI untuk melaksanakan dan mengamankan dekrit tersebut. Mahkamah Agung membenarkan dekrit tersebut. DPR dalam sidangnya pada 22 Juli 1959 secara aklamasi menyatakan kesediaanya untuk terus bekerja dengan berpedoman kepada UUD 1945.
c. Pengaruh Dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Semenjak pemerintah RI menetapkan dekrit presiden 5 Juli 1959,
Dalam perjalanan selanjutnya, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ditindaklanjuti dengan penataan bidang politik, sosial-ekonomi dan pertahanan keamanan. Sebagai realisasinya pada 20 Agustus 1959 Presiden Soekarno menyampaikan
1) Pembentukan MPRS
Dibentuk melalui penetapan presiden No.2 Tahun 1959. keanggotaan MPRS terdiri atas anggota-anggota DPR sebanyak 261 orang, utusan daerah 94 orang dan wakil golongan sebanyak 200 orang. Susunan pimpinan MPRS adalah sebagai berikut:
Ketua : Chaerul Saleh
Wakil Ketua : Mr. Ali Sastroamidjojo
Wakil Ketua : JH. Idham Khalid
Wakil Ketua : DN Aidit
Wakil Ketua : Wiluyo Puspoyudo
Menurut penetapan presiden No.12 Tahun 1959, tugas MPRS hanya sebatas pada kewenangan menetapkan GBHN. Hal ini menunjukkan bahwa presiden berusaha membatasi kewenangan MPRS. Demikian pula tentang keberadaan semua pimpinan MPRS yang dalam praktiknya diangkat oleh presiden.
Pada tahun 1960 – 1965 MPRS telah melakukan 3 kali persidangan yang dilaksanakan di Gedung Merdeka
a. Sidang umum pertama (10 November – 7 Desember 1960) menghasilkan ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960 yang menetapkan manifesto politik republik
b. Sidang umum kedua (15 22 Mei 1963) diantaranya menghasilkan ketatapan MPRS No. III/MPRS/1963 tentang pengangkatan presiden Soekarno/mandataris MPRS menjadi presiden seumur hidup.
c. Sidang umum ketiga (11 – 16 April 1965) diantaranya menghasilkan ketetapan MPRS No. V/MPRS/1965 tentang pidato presiden Soekarno berjudul “Berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari)” sebagai pedoman revolusi dan politik luar negeri
2) Pembentukan DPAS
Dibentuk berdasarkan penetapan presiden No.3 tahun 1959 antara lain:
a. Anggota DPAS diangkat dan diberhentikan oleh presiden
b. Tugas DPAS adalah memberi jawaban atas pernyataan presiden dan mengajukan usul kepada pemerintah
c. Anggota DPAS sebanyak 45 orang yang terdiri dari wakil golongan politik, ututsan daerah, wakil golongan dan seorang ketua.
d. DPAS dipimpin oleh presiden sebagai ketua
e. Sebelum memangku jabatan, wakil ketua dan anggota DPAS mengangkat sumpah/janji di hadapan presiden
3) Pembentukan DPR-GR
Dibentuk melalui penetapan presiden No. 4 tahun 1960. DPR-GR dibentuk menggantikan DPR hasil pemilu 1955 yang dibubarkan presiden sejak 5 Maret 1960 karena menolak mengesahkan rencana anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) untuk tahun 1961 yang diajukan presiden. Semua anggota DPR-GR diangkat oleh presiden sebanyak 283 orang yang terdiri dari 153 mewakili partai dan 130 mewakili golongan-golongan. Menurut Penpres No.32 Tahun 1964, DPR-GR adalah sebagai pembantu presiden menurut bidangnya masing-masing dan melaporkan kepada presiden pada waktu-waktu tertentu.
4) Pembentukan Kabinet Kerja
10 Juli 1959 Kabinet Djuanda (kabinet karya) dibubarkan dan sebagai gantinya adalah kabinet kerja yang dipimpin oleh presiden (sebagai perdana menteri) dan Ir. Djuanda ditunjuk sebagai menteri pertama. Kabinet kerja mempunyai 3 program yaitu: mencukupi kebutuhan sandang pangan, menciptakan keamanan negara dan melanjutkan perjuangan merebut Irian Barat.
5) Pembentukan Front Nasional
Dibentuk dengan Penpres No.13 Tahun 1959 pada 31 Desember 1959. lembaga ini merupakan organisasi masa yang berusaha memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita bangsa seperti yang terkandung dalam UUD 1945. front Nasional diketuai oleh presiden Soekarno dengan tujuan: menyelesaikan revolusi nasional
PERISTIWA-PERISTIWA EKONOMI
Kondisi Ekonomi
Republik
Kebijakan-kebijakan Ekonomi Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan
Gunting Syarifudin
Adalah pemotongan nilai mata uang (sanering) diatas Rp. 2,50 menjadi setengahnya, ini dilakukan pada 20 Maret 1950 oleh menteri keuangan RIS Syarifudin Prawiranegara.
Program Benteng (Benteng Group)
Dr. Sumitro Djojohadikusumo berpendapat bahwa hal yang perlu dilakukan dalam pembangunan ekonomi
Nasionalisasi de Javasche Bank
Ketentuan dalam KMB mengenai De Javasche Bank sangat merugikan bangsa
Sistem Ekonomi Ali Baba
Atas prakarsa Mr. Iskaq Cokrohadisuryo menteri perekonomian dalam kabinet Ali Sastroamijoyo I. kabinet ini memprioritaskan kebijakan Indonesianisasi dengan mengutamakan pertumbuhan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Dalam sistim ini Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba sebagai pengusaha non pribumi. Untuk memajukan ekonomi
Persetujuan Finansial Ekonomi (Finek)
Pada masa pemerintah kabinet burhanudin harahap
- Persetujuan finek hasil KMB dibubarkan
- Hubungan finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral
- Hubungan finek didasarkan pada UU nasional dan tidak boleh diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak
Karena pemerintah Belanda tidak mau menandatangi rencana persetujuan ini, maka pemerintah RI mengambil langkah sepihak dengan melakukan pembubaran Uni
Rencana Pembangunan
Ketidakstabilan politik dan ekonomi menjadi penyebab terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi dan lambatnya pelaksanaan pembangunan. Pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, Pemerintah membentuk badan perencanaan pembangunan nasional yang disebut Biro Perancang Negara untuk merencanakan pembangunan jangka panjang dengan Ir. Djuanda sebagai menteri perancang nasional.
Bulan Mei 1956 biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961. RUU rencana pembangunan ini disetujui oleh DPR pada 11 November 1958. pada tahun 1957 akibat perubahan politik dan ekonomi sasaran dan prioritas RPLT ini diubah dalam Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). RPLT tidak berjalan dengan baik karena:
- Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat yang mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot
- Perjuangan membebaskan Irian barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolah ekonomi
- Adanya ketegangan antara pusat dan daerah, sehingga banyak daerah yang melakukan kebijakan ekonominya sendiri-sendiri
Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap)
Ketegangan antara pusat dan daerah pada masa kabinet Djuanda untuk sementara waktu dapat diredakan dengan diadakannya Munap. Ir. Djuanda memberikan kesempatan kepada Munap untuk mengubah rencana pembangunan itu agar dapat dihasilkan rencana pembanguan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Akan tetapi, rencana pembangunan ini tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena kesulitan dalam menentukan prioritas. Selain itu masih belum redanya ketegangan politik antara pusat dengan daerah menjadi penyebab macetnya rencana pembangunan tersebut.
bagus sekali rangkumannya
BalasHapus